Sabtu, 07 November 2020

3L3W TPB 1 - Chapter 11 Part 10


Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 1

Chapter 11 Part 10

“Kau berani bertanya padaku apa yang terjadi pada Xiao Bai? Bahkan walaupun aku menyukai Jiheng, aku masih tidak suka bagaimana caramu memberikan Jiheng apa yang seharusnya jadi milik Fengjiu. Kau kan bukannya tidak tahu kalau Fengjiu sangat membutuhkan buah itu. 

"Karena kau memberikannya pada Jiheng, Fengjiu tidak punya cara lain selain menyusup masuk ke Mata Air Jieyou dan mencurinya sebelum buah itu dipetik. 

"Bagaimana bisa sihirnya yang hanya 30.000 tahun bertahan melawan keempat ular yang menjaga buah itu? Fengjiu sekarang sedang terperangkap di dalam formasi ular dengan nyawa sebagai taruhan. Aku, Meng Shao, bahkan Sang Ratu tidak tahu apa yang harus dilakukan ...”

Di tengah pidato Xiao Yan, embusan angin mendadak berputar melewatinya. 

Ia berbalik, bertanya pada Liansong, “Kemana perginya Muka Es?”

Liansong menutup kipasnya, ekpresi wajahnya tampak suram. 

“Menyelamatkan.” 

Kemudian, ia menambahkan, “Aku tahu sesuatu pasti akan terjadi.”

***

Sekeliling Mata Air Jieyou runtuh. Keempat pilarnya telah ambruk. Tidak ada sisa dari air biru yang jernih. Yang tersisa tanpa cedera di daerah sekitar pilar adalah pohon Saha.

Matahari telah terbit tinggi di luar, namun di dalam medan pelindung, masih gelap gulita. Keempat piton menunggu di keempat sisi, berjaga, mata tinggi memerah selayaknya lentera yang menyala.

Mereka menjaga medan pelindung berkabut dengan asap biru tebal. Di dalamnya ada seorang gadis berjubah putih melayang di udara dengan mata tertutup. Rambut hitam panjangnya mengalir ke bawah layaknya sutra bertinta. Tidak pasti apakah gadis itu koma atau tertidur pulas.

Di luar pilar yang ambruk, angin kencang mendesis dalam pertarungan. Donghua tetap di udara selagi ia memusatkan pengelihatannya pada Fengjiu yang sedang terperangkap di dalam medan pelindung.

Meskipun wajah Fengjiu memucat, dadanya masih bernapas. Sungguh beruntung. Donghua menghela napas lega, ekspresinya tidak berubah.

Sebenarnya, Donghua tahu kalau Fengjiu sangat cantik, tetapi karena Fengjiu sangat bersemangat, perhatian orang-orang cenderung tertarik pada kepribadiannya.

Di saat Fengjiu berbaring diam di dalam medan pelindung, wajah elegannya jadi lebih jelas. Akan tetapi, rok dan atasan putih tidak cocok untuk Fengjiu. Warna merah terang menarik Saha-Manjusaka yang paling cocok untuk Fengjiu.

Donghua sudah pernah melihat begitu banyak wanita cantik seumur hidupnya yang panjang. Fengjiu bukanlah yang tercantik, tetapi di situlah letak lucunya takdir.

Semua wanita cantik, tak peduli seberapa menariknya, tidak pernah berhasil meninggalkan kesan pada Donghua. Hanya Fengjiu, entah senyumannya, entah kernyitannya, entah rasa malunya, bahkan ketika Fengjiu mengolok-olok dirinya, Donghua mengingat semuanya.

Setiap gambaran itu terpatri sejelas kristal dalam ingatannya. Liansong bilang, Fengjiu adalah bayi rubahnya di masa lalu. Baguslah kalau itu benar. Namun, kalaupun bukan, tidak membuat perbedaan bagi Donghua.

Nyanyian lagu Buddha samar-samar terdengar di udara, tenggelam dalam alunan seruling yang merdu, melayang, kemudian hening lagi. Donghua menurunkan pandangannya, matanya berhenti pada Ratu Biyiniao dan para pejabatnya yang bersujud.

Donghua berkata dingin, “Apa sebenarnya medan pelindung itu?”

Masih belum berhasil mengatasi keterkejutan mereka perihal mengapa Dijun sendiri yang datang kemari, mereka tetap diam terbengong tanpa sanggup menjawab.

Meng Shao, teman Fengjiu, yang sangat cemas karena penahanan Fengjiu di dalam sana akhirnya menggenggam kedua tangannya, menjawab: “Dijun, bukan medan pelindung itu yang memerangkap Putri Jiu’ge. Itu adalah Mimpi Aranya.”

Saat kata ‘Aranya’ keluar dari mulut Meng Shao, semua yang bersujud di tanah, semua kecuali Jiheng, terlihat gemetaran. 

Meng Shao menceritakan ulang kisah itu, sebagai berikut.

Menurut pengetahuan zaman dahulu, Aranya merupakan si cantik yang tak ada tandingannya. Ia meninggal dengan kematian yang menyedihkan dan tidak pernah bereinkarnasi.

Arwah Aranya berubah menjadi sebuah labirin mimpi dan menetap di Lembah Fanyin. Siapa pun yang memasuki mimpinya akan merasakan perasaan Aranya selagi ia masih hidup.

Bagi mereka yang tidak cukup kuat maka selamanya tidak akan sanggup melarikan diri. Mereka akan tetap berada di dalam tidur abadi hingga energi kekal mereka benar-benar terkuras oleh mimpi itu dan mereka sendiri berubah menjadi asap.

Ketika Putri Jiu’ge tersesat di dalam formasi ular itu, ia pasti memasuki Mimpi Aranya di saat bersamaan mimpi itu singgah. 

Aranya diasuh oleh keempat ular piton di pilar ini semenjak ia masih muda. Mereka pasti mengira Putri Jiu’ge adalah Aranya, jadi mereka berusaha keras bertarung melindungi Putri Jiu’ge dengan cara mencegah orang luar mengganggunya.

Selain orang yang tersesat itu keluar sendiri, ada sebuah cara aman untuk memecahkan Mimpi Aranya: orang terdekatnya dapat memasuki mimpi itu dan membawanya kembali. Namun, dengan keadaan sekarang ini, pertama-tama seseorang harus melewati formasi ular demi memasuki mimpi dan membawa Putri Jiu’ge keluar.

Tidak sulit bertarung melawan keempat piton itu, tetapi Mimpi Aranya hanyalah sebuah gambaran yang berubah-ubah. Itu hanya menunjukkan realita yang terkonsentrasi ketika seseorang memasukinya.

Kenyataan ini mengambil wujud di dalam medan pelindung biru pucat itu. Dunia dalam mimpi itu sangatlah rapuh. Lahan pertarungan pastilah bergolak. Jika mimpi itu secara tidak sengaja rusak, Putri Jiu’ge dapat berakhir terluka parah atau bahkan mati.

Mereka juga mempertimbangkan mengirim seseorang dengan penempaan diri yang tinggi untuk melawan monster itu selagi menjaga mimpinya tetap menyatu demi membawa si putri keluar.

Namun, Mimpi Aranya sensitif sekali pada individual yang kuat. Siapa saja yang memasuki mimpi ini harus meninggalkan energi abadinya seratus meter di luar jangkauan mimpi. Hanya dengan menggunakan tubuh kasarnya, seseorang baru bisa masuk. Kalau tidak, mimpinya akan hancur.

Akan tetapi, bagaimana bisa seseorang menantang ular-ular piton ini setelah meninggalkan energi abadi mereka? Skenario yang tampak di depan mata ini memang sungguh sebuah dilema; tidak seorang pun yang tahu apa yang harus dilakukan.

Sejak kemarin malam penahanan Putri Jiu’ge diketahui hingga saat ini, tidak satu pun yang berani bertindak gegabah karena alasan ini. Masa depan Putri Jiu’ge tampaknya lebih suram ketimbang baik.

Ketika Liansong tiba terburu-buru, ia melihat Meng Shao berbicara tanpa henti, mengatakan hal-hal yang tak dapat didengarnya. Liansong hanya melihat kalau setelah Meng Shao berhenti berbicara, orang-orang di tanah semuanya mulai mengusap air mata mereka.

Meskipun Liansong tidak mengerti mengapa mereka semua menangis, cukup menyentuh juga melihat begitu banyak orang melakukan pose muram secara bersamaan. Saat Liansong baru saja akan maju, Donghua berbalik dan melihatnya lebih dahulu.

Ekpsresi Donghua sangat biasa. Donghua membuatnya begitu tenang. Donghua selalu disebut Muka Es oleh Yan Chiwu, namun dari bertahun-tahun persahabatan mereka, Liansong tahu ekspresi Donghua tidak akan pernah tetap sama jika Fengjiu dalam masalah.

Liansong baru saja akan mengucapkan halo saat Donghua mendatanginya. 

Dengan nada suara tak terpengaruh seperti ketika Donghua menghadiahkannya sebuah rasa teh baru, ia berkata, “Kau datang di saat yang tepat. Aku punya dua permintaan padamu.”

Donghua menjeda untuk mendongak ke arah Fengjiu yang sedang tertidur di dalam formasi ular. 

“Jika hanya Fengjiu yang berhasil keluar hidup-hidup, bawa ia kembali dengan selamat ke Qingqiu dan serahkan ia langsung pada Bai Yi. Setelahnya, cari Moyuan dari Kunlun. Beritahu padanya, Donghua Dijun meninggalkan Alam Huiming padanya. Ia akan mengerti.”

Terdengar seperti sebuah permintaan terakhir. 

Liansong tersenyum dan melirik ke arah medan pelindung: “Karena sudah lama semenjak aku bertempur, takutnya aku tidak bisa secepat dulu. Tetapi jika ular-ular piton ini ingin mencekikmu, mereka masih harus mengalami kesulitan ...”

Liansong belum selesai bicara ketika ia mendadak berhenti. Ia, yang tidak pernah berhenti tersenyum bahkan jika Gunung Tai runtuh, tiba-tiba mengubah ekspresinya saat ia melonjak dan mencengkeram Donghua yang dengan santainya menyingkirkan energi abadinya dan dengan acuh berjalan masuk ke dalam formasi ular piton itu.

Keluar dari udara, Yan Chiwu muncul dan menghentikan Liansong. Di matanya terdapat ketermenungan yang belum pernah terlihat. 

Dengan pelan, Xiao Yan berkata, “Hanya ini caranya.”

Xiao Yan melirik ke arah formasi ular dimana guntur dan petir mulai terhimpun, hujan turun begitu derasnya.

“Aku telah memutar otakku satu malam dan setengah harian tanpa hasil karena aku tidak pernah memikirkan untuk melepaskan energi abadiku dan menerobos masuk ke formasi ular sendirian. Aku bukan teman yang cukup baik. Budi Muka Es setinggi langit itu sendiri. Ia mendapatkan rasa hormatku.”

***

Dua orang berani masuk tanpa izin ke wilayah ular piton dalam dua hari membuat ular-ular itu sangat marah. Mereka mendesis layaknya raungan iblis. Petir setajam pedang terarah langsung pada Donghua.

Tanpa energi abadi untuk melindunginya, tubuh Donghua langsung tersayat. Darah merembes dengan cepat ditambah dengan air hujan. Ratu dan para bawahannya menonton penuh kehororan adegan ini, tetapi tidak tahu bagaimana menolongnya, tetap terdiam dalam keterkejutan.

Setelah ditarik oleh Xiao Yan, Liansong mungkin mengerti sekarang alasan Donghua. Ia berdiri diam tanpa kata. Liansong dan Donghua merupakan kawan lama. Sejujurnya, Liansong tidak tahu seberapa tuanya Donghua jika mereka membandingkan umur mereka.

Liansong dilahirkan setelah masa kacau peperangan, jadi ia tidak pernah menyaksikan prestasi Donghua dengan matanya sendiri. Meski begitu, ia pernah mendengar Moyuan menyebut soal Donghua di masa lalu.

Menurut dewa-dewa kuno, hanya pada masa prasejarahlah, medan pertempuran yang sesungguhnya itu ada. Jika mereka membicarakan soal pertempuran ini, mereka harus menyebutkan soal Donghua Dijun.

Setiap kali Donghua keluar dari sebuah pertempuran, tubuhnya dipenuhi oleh darah tetapi wajahnya tidak pernah sekali pun berubah. Ketabahan macam ini tak ada tandingannya.

Di dalam formasi ular piton ini, guntur terus berlanjut tanpa henti. Kerah dan lengan jubah putih Donghua telah basah dengan warna merah dan emas. Untuk menghindari semakin membuat piton itu marah dan mengganggu mimpi tempat Fengjiu tertidur, Dijun mempertahankan langkah yang lambat.

Air hujan menuruni pergelangan tangannya dengan warna merah. Dijun tetap gigih.

Mendadak, seseorang di antara kerumunan yang berlutut di belakang Ratu pun berdiri dan berjalan tersandung menuju Yan Chiwu. Berpakaian serba putih, itu adalah Jiheng.

Dengan air mata menuruni wajahnya, Jiheng menarik jubah Xiao yan dan memohon, “Tolong selamatkan Dijun. Tolong tarik ia kembali. Aku berjanji melakukan apa pun yang kau mau.”

Xiao Yan tetap diam dan membalikkan punggungnya dari Jiheng. Jiheng memegangi jubahnya seraya menangis putus asa.

***

Fengjiu samar-samar mendengar suara gaduh dari guntur dan air hujan di tempat yang jauh sekali. Sejak Fengjiu jatuh di dalam kekosongan ini, ia merasa seolah ia berada di kondisi tidak jelas yang konstan.

Terkadang Fengjiu terbangun, terkadang tidak. Pikirannya jadi berkabut; setiap kali ia terbagun, ia melupakan lagi satu hal.

Terakhir kali Fengjiu teraduk, ia tidak dapat mengingat kenapa ia terjatuh ke dalam dunia ini. 

Akankah ia tetap berada dalam mimpi abadi ini?

Setelah beberapa kali waktu berlalu, apakah Fengjiu tidak akan mengingat siapa dirinya lagi? 

Merasa ketakutan, Fengjiu ingin meninggalkan tempat ini, tetapi tiap kali ia berusaha bangun dari kesurupannya, ia merasa kesadarannya semakin menjauh dalam kelelahannya.

Mata Fengjiu buram, tubuhnya tak dapat digerakkan. Terlebih lagi, tiap kali ia membuka matanya, yang menunggunya hanyalah kegelapan yang hening dan rasa sakit yang menyiksa.

Namun kali ini yang muncul sedikit berbeda. Guntur dan hujan terdengar lebih jelas, seolah mereka menyolok tepat di telinganya. Tangan seseorang sedang menyentuh kepalanya—terasa dingin—dan berpindah turun ke pipinya, kemudian tangan itu menyingkirkan rambut yang terlepas ke belakang telinganya.

Fengjiu membuka matanya dan melihat sorang pria berperawakan perak dengan pakaian berwarna ungu melihat ke bawah padanya.

Di saat ini, di tempat ini, jika Fengjiu sedang sadar, ia akan sangat terkejut melihat Dijun. Tetapi pikirannya sedang keruh sekarang ini.

Kapan ini, dimana ini, Fengjiu tidak tahu. Apakah ia seorang Fengjiu muda atau Fengjiu dewasa, ia juga tidak tahu. Tetapi tampaknya ia mengenal orang ini. 

Bukankah ia adalah Donghua?

Lalu, tidak jelas, Fengjiu mengenalinya sebagai seseorang yang sangat ia sukai. Betapa luar biasanya karena Donghua datang mencarinya!

Tetapi Fengjiu bertanya pada Donghua sebuah pertanyaan yang kontras dengan perasaannya: “Apa yang sedang kau lakukan di sini?”

Donghua menatap Fengjiu dengan mata tenangnya tetapi ia tidak menjawab. Pengelihatannya sedikit demi sedikit menjadi jelas dan ia melihat kalau seluruh tubuh Donghua basah kuyup.

“Kau pasti sangat kedinginan?” Fengjiu berkata terkejut.

Lagi, Donghua tidak menjawabnya. Donghua hanya melihatnya dalam diam kemudian menarik Fengjiu ke dalam pelukannya.

Setelah sekian lama, Donghua bertanya, “Apa kau sangat ketakutan?”

Fengjiu kebingungan sejenak; tubuhnya terasa canggung, dan ia tidak yakin dimana harus meletakkan mereka dalam pelukan Dijun. 

Dijun bertanya apakah ia ketakutan.

Ya, Fengjiu sangat ketakutan. 

Ia pun mengangguk jujur. 

Donghua meluruskan kembali rambut Fengjiu yang terlepas dan menenangkannya dengan suara yang dalam, “Jangan takut. Aku di sini sekarang.”

Tanpa diduga, air mata bercucuran. Pikiran Fengjiu kosong, tetapi ia dapat merasakan kepedihan memenuhi hatinya. 

Tubuh Fengjiu sepertinya sudah bisa bergerak, ia memberanikan diri memeluk punggung Dijun dan tersedak air matanya: “Aku pikir aku harus menunggumu. Sebenarnya aku sudah yakin sekali kalau kau tidak akan datang, tetapi kau datang. Kau tidak tahu betapa bahagianya aku.”

Fengjiu mendengar Dijun balik berbisik, “Aku datang untukmu.”

Fengjiu dapat merasakan samar-samar kalau Dijun menjadi sangat lembut hari ini, betapa luar biasanya, sangat berbeda dari Donghua yang biasa. Namun, seperti apa Donghua yang biasa, saat ini ia juga tidak dapat mengingatnya. Pikirannya terbeban berat saat kesadarannya mulai memburam.

Fengjiu menangkap kata terakhir Donghua dan berkata, “Kau di sini, tetapi aku tahu kau akan pergi lagi. Aku ingat, aku selalu saja melihat punggungmu. Tetapi aku sangat mengantuk hari ini, aku ...”

Fengjiu merasakan dirinya terus saja bergumam, tetapi kepalanya semakin tenggelam di dalam kebingungan dan kabut. Pelukan di sekitarnya mengerat, dan sebelum Fengjiu tertidur lebih lelap lagi, ia mendengar samar-samar satu hal terakhir dari Donghua.

Dijun berbisik pada Fengjiu, “Aku tidak akan pergi kali ini. Tidurlah, Xiao Bai. Ketika kau terbangun, kita akan berada di rumah.”

Merasa tenang, sekali lagi Fengjiu tidak sadarkan diri. Di telinga Fengjiu tetap tersisa suara guntur menggelegar samar dan desisan ular, namun pikirannya tenang, sangat tenang tanpa rasa khawatir ataupun ketakutan. Segala rasa sakit menghilang ketika ia berada di dalam pelukan Donghua.

Akhir dari Volume 1.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar