Sabtu, 07 November 2020

3L3W TPB 1 - Chapter 11 Part 7

Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 1

Chapter 11 Part 7

Dijun mengacuhkan usulan Fengjiu dan di malam yang sama, membuat medan pelindung lainnya di atas yang lama. Jifeng Yuan sekarang tertutup lebih rapat lagi. Bukan hanya Xiao Yan, bahkan sepuluh Xiao Yan pun akan kesulitan untuk melekukkan pelindung ini.

Kemudian, Donghua jadi semakin pendiam. Kenapa mendadak jadi perang dingin, Fengjiu tidak dapat memahaminya.

***

Hari ini tidak turun salju, langit biru cerah dan awan melayang—merupakan hari bercuaca ringan. Para kontestan telah berpasangan, sekarang menunggu Donghua Dijun untuk tiba agar mereka dapat memulai.

Menurut peraturan turnamen, pemenang dari babak pertama akan berduel di babak berikutnya. Ketika hanya tersisa tiga orang, mereka akan bertarung untuk hadiah pertama, kedua, dan ketiga.

Lawan babak pertama Fengjiu adalah seorang pria pesolek yang tidak tahu ilmu silat. Fengjiu sama sekali tidak memikirkannya. Masih awal, semua orang mengeluarkan pedang mereka untuk dibersihkan.

Fengjiu juga mengeluarkan pedang Taozhu dari lengan jubahnya dan berpura-pura mengelapnya. Ia mendongak ke arah panggung dan melihat A Li sedang berpegangan di susuran tangga.

A Li melompat ke atas dan bawah selagi melambai pada Fengjiu seolah ia takut Fengjiu tidak akan menyadari kehadirannya. Berdiri di belakang A Li adalah Pangeran Liansong yang tersenyum senang. Mereka berdiri di antara keramaian, sepertinya menyusup masuk untuk menonton.

Fengjiu memperhatikan dengan saksama gerakan mulut A Li dan menebak ia sedang memberitahu Fengjiu: “Kakak Fengjiu, hati-hatilah, jangan sampai mengganggu bayi di perutmu. Kalau kau merasakan sakit di tengah pertandingan, kau harus segera berhenti dan meninggalkan arena, apa kau mengerti ...”

Tangan Fengjiu berkedut, pedang Taozhunya nyaris saja terbang menuju tempat keduanya sedang berdiri.

***

Setelah penantian sekian lama, Donghua Dijun tiba di akhir jam Naga (9 pagi). Berkebalikan dari bayangan semua orang, menyangkut kedatangannya yang beitu agung dengan awan yang meluncur atau petir menggelegar, Dijun hanya berjalan kaki memasuki arena. Di akhir seratus langkah pertama, Donghua dengan tenang menaiki tangga kayu untuk sampai di teras.

Ratu dan para pejabatnya yang sudah mendudukkan diri mereka tidak membayangkan bahwa Donghua akan tiba dengan gaya ini. Dalam bayangan mereka, entah Donghua tiba dengan awan ataupun angin, ia pasti akan turun dari atas.

Pada saat itu, sang Ratu akan memimpin bawahannya dan bersujud bersama di sepanjang lorong yang menuju kursi tertinggi untuk menyambut Donghua ... sebuah penyambutan yang sangat resmi.

Tetapi karena saat ini, Dijun masih berada di bawah teras sedangkan mereka sudah duduk tinggi di atas—betapa tidak hormatnya ini semua.

Merasa ngeri, sang Ratu memimpin para pejabatnya bertransformasi kembali ke bentuk asli mereka, burung, dan diam-diam terbang kembali ke bawah stadium. 

Kemudian mereka berubah kembali ke bentuk manusia selagi mereka mengelilingi dan bersujud di belakang Donghua dan serentak mengucapkan, “Bawahan Anda menyambut kedatangan Anda, Yang Mulia.”

Donghua Dijun pernah memerintah dunia. Tentu saja ia sangat pantas menerima seorang penguasa klan menyatakan diri mereka sebagai bawahannya.

Rakyat yang ada di sana menatap adegan ini dengan mata membesar. Arena gaduh ini terdiam dalam sekejap. Hanya terdapat bunyi kayu berderit di bawah kaki Donghua.

Sang Raja tidak berhenti; mulai dari para juri, keempat sisinya juga ikut diam, bersujud.

“Kami menyambut kedatangan Anda, Yang Mulia,” ucapan itu menggema di seluruh tempat.

Dijun lanjut menaiki teras itu dengan tenang, langsung menuju ke kursi tertinggi. 

Setelah ia duduk, tanpa tergesa ia melambaikan lengannya, berkata: “Untuk apa kalian bersujud? Aku sedikit telat, kapan turnamennya dimulai?”

Sang Ratu, pejabat serta rakyatnya membungkuk sekali lagi sebelum bangkit berdiri. Fengjiu ikut bangkit dengan yang lainnya; ketika ia melirik ke arah Donghua, ia melihat bahwa Donghua juga memandangnya sambil lalu, jeda sejenak, lalu menoleh ke arah lainnya sambil lalu pula.

Fengjiu entah bagaimana merasa takjub. Tentu saja ia mengetahui perihal prestasi dan reputasi Donghua. Tetapi ketika Fengjiu pertama kali bertemu dengannya, Donghua telah menyepi.

Kegiatan harian Donghua menyangkut pembuatan dupa, keramik, memancing, atau hobi biasa yang memberikan kesan untuk mudah didekati. Fengjiu tidak pernah memikirkan terlalu jauh mengenai fakta bahwa Donghua pernah menjadi pemimpin resmi dari keenam dunia. Jadi beginilah aura seorang penguasa.

Ini adalah pertama kalinya Donghua terasa begitu jauh tak tercapai dan tinggi di atas. Sayangnya, kesadaran ini baru menghampiri Fengjiu sekarang.

Jika saja Fengjiu menyadari ini lebih cepat ketika ia masih muda, ia pasti akan berhenti mengejar Donghua. Tidak akan ada begitu banyak rasa sakit yang harus ditanggungnya.

Kalau dipikir kembali, Fengjiu cukup berani kala itu. Namun, sebagai catatan, bagi seseorang seperti Dijun untuk memiliki perasaan duniawi dan mencintai seorang wanita juga merupakan suatu hal yang patut dipikirkan.

Fengjiu menaikkan pandangannya pada Jiheng yang mengenakan gaun putihnya, yang tetap bersama Donghua kemana pun ia pergi. Terlebih lagi, melihat Donghua melakukan begitu banyak usaha hanya untuk wanita ini merupakan hal yang lebih aneh lagi.

***

Bunyi drum menggelegar. Dipilih oleh sang Ratu untuk mengawasi turnamen, secara mengesankan, Guru Ji Han mendatangi podium tinggi yang terletak di sebelah arena duel.

Mewakili sang Ratu, Guru Ji Han membacakan sebuah pidato pembukaan, berlanjut pada peraturan, dan setelahnya menyalakan sebuah dupa sebagai batas waktu dengan bantuan dua pelayan.

Kompetisi pun akhirnya resmi dimulai. Serentetan suara drum yang memekakkan telinga pun terdengar. Para kompetitor berdiri dalam dua baris dengan pedang mereka selagi mereka memasuki arena di bawah bunyi drum.

Ketika sinyal dibunyikan, pedang-pedang langsung berputar di dalam angin, membuat kilauan membutakan dari pedang itu. Seketika itu pula, peserta-peserta yang malang mulai berjatuhan dari tiang-tiang ke dalam hutan bersalju.

Hanya dengan dua jurus, Fengjiu dapat mendorong lawannya hingga terjatuh dari tiang. Sejak itu, ia hanya dapat duduk di pinggir untuk menonton sisa pertandingan. Meskipun gurunya telah menyaring banyak peserta, masih ada banyak peserta tersisa. Pada babak pertama, banyak pesaing yang terpaksa jatuh pada kekalahan yang tak menguntungkan.

Dupa terbakar dengan cepat. Setelah satu babak dupa, hanya tersisa tiga orang di dalam arena, dua puluh enam seperti yang dihitung gurunya, tepatnya. Tidak ada waktu istirahat. Drum mulai ditabuh kembali dan babak kedua pun dimulai.

Karena Fengjiu sudah duduk di samping untuk menonton sejak setengah babak yang lalu, kakinya jadi sedikit mati rasa ketika ia berdiri. Namun, dengan pikiran yang sangat tenang, dalam tiga jurus, lawan Fengjiu lagi-lagi dikalahkannya.

Karena hanya tersisa sedikit orang yang berdesakan di atas tiang, berpedang pun menjadi lebih tepat dari semua orang di babak ini. Ini juga merupakan hal yang baik bagi para penonton di kursi mereka. Sedikit demi sedikit, mereka dapat melihat lebih jelas, dan sorakan pun terkadang terdengar ke arah arena.

Karena klan Biyiniao tidak panjang umur, mereka pun cepat menua. Teman sekelas Fengjiu tidak ada yang berusia lebih dari seratus tahun. Bahkan jika mereka telah berlatih sejak bayi, mereka tidak akan dapat berlatih hingga lebih dari satu abad.

Mereka bukanlah tandingan bagi kemampuan berpedang Fengjiu selama dua puluh ribu tahun. Donghua benar. Ia hanya perlu berjalan dengan biasa di atas tiang dan buah Saha sudah pasti akan jadi miliknya.

Meskipun babak terakhir tidak dibatasi dengan waktu dupa, dupa masih tetap terbakar untuk mengetahui seberapa lama dari tiga yang tersisa dan digunakan untuk referensi masa depan jika adu pedang masih jadi pilihan kompetisi.

Namun kali ini, seluruh stadium menonton dalam keterkejutan ketika dua puluh lima orang telah berbaring terkapar layaknya pangsit di atas tanah bersalju di bawah tiang ketika dupanya masih terbakar. Di atas formasi tiang, menunjuk ke atas langit seperti sebatang bambu giok putih, hanya satu yang berdiri tegak. Itu adalah Fengjiu.

Dari dalam dan luar, arena diselubungi keheningan. Kemudian sorak sorai pun menggema. Selama bertahun-tahun, sangat jarang menyaksikan hasil yang timpang sebelah.

Dengan pedang di tangannya, Fengjiu menghela napasnya lega. Ia sudah menang. Buah Saha adalah miliknya. Sepuluh hari penyiksaan dari Donghua ternyata memang sepadan.

Fengjiu terbang turun dari atas tiang salju dan memberi hormat pada teman sekelasnya yang terkapar, berterima kasih pada mereka karena telah memudahkannya.

Fengjiu mencuri waktu untuk melirik ke teras tempat Donghua bersandar pada kursinya selagi ia dengan santai menatap ke bawah pada medan pertempuran kacau balau di bawah, pikirannya tak terbaca.

Donghua telah menolong Fengjiu mencapai kemenangan tetapi ia bahkan tidak memberikan Fengjiu sedikit pun tampang mendukungnya. Fengjiu diam-diam merasa kecewa, tetapi kegembiraannya karena mendapatkan buah Saha dengan cepat mengambil alih kekecewaannya.

A Li dan Pangeran Liansong menerobos keramaian untuk memberikan selamat pada Fengjiu. Ia menahan kegembiraannya dan dengan sopan menjawab ketika ia mendengar Guru Ji Han mengumumkan hasilnya di atas panggung.

Melalui suara menggelegar gurunya, Fengjiu mendengar namanya, mendengar hadiahnya adalah sekeranjang buah persik yang dipetik sendiri oleh Ratu Langit, hadiah kedua dan hadiah ketiga merupakan sebuah pedang ajaib dan sebuah botol giok dengan sebuah kemampuan spesial yang dapat digunakan berturut-turut. Fengjiu tidak mendengar gurunya menyebut apa pun soal buah Saha.

Di dalam angin dingin, Pangeran Liansong melambaikan kipasnya ketika pemahaman menghampirinya: “Pantas saja Donghua tergesa-gesa mencariku semalam, berkata ia harus membawa pulang sekeranjang buah persik. Ternyata untuk ini.”

Kemudian Liansong mengernyitkan alisnya. 

“Aneh sekali para Biyiniao ini. Mereka baru memutuskan apa hadiah pertama di malam sebelumnya?”

Sekarang Liansong tersenyum. 

“Tetapi ini memang adalah persik terbaik. Biasanya, aku harus memohon pada ibuku agar dapat memakan beberapa. Saat mereka dibawakan ke Jifeng Yuan, adakanlah sebuah jamuan makan agar kami semua dapat menikmatinya.”

Fengjiu dengan kaku menggerakkan bibirnya: “Baiklah.”

Fengjiu menatap ke atas panggung—semua orang telah pergi. 

A Li bertanya polos, “Kalau begitu, bisakah aku membawa pulang dua buah untuk orang tuaku?”

Liansong Jun menjawabnya, “Aku rasa tidak pantas bagimu untuk memakan buah itu di sini kemudian membawa pulang lagi beberapa.”

A Li berpikir sejenak dan membalas, “Kalau begitu tak bisakah kau menganggapnya seolah aku memakan ketiganya?”

Liansong Jun menaikkan kipasnya dan tersenyum diam-diam. 

Fengjiu memaksakan sebuah senyuman: “Aku tidak tertarik pada persik ini, aku akan berikan bagianku untukmu.”

Lalu Fengjiu berbalik dan pergi. Setelah dua langkah, tanpa sengaja Fengjiu menabrak sebuah tiang salju.

Seolah Fengjiu teringat akan sesuatu, ia berbalik dan berkata, “Aku merasa kurang enak badan. Saat mereka membawakan persiknya, maukah Yang Mulia atau A Li mengadakan sebuah jamuan makan dan mengundang Meng Shao, Xiao Yan, dan Jielu untuk menikmati persik itu?”

A Li menarik lengan jubah Liansong: “Ada apa dengan Kakak Fengjiu?”

Pangeran Liansong perlahan melipat kipasnya. “Pasti ada masalah.”

***

Melayang keluar dari Lembah Prem, pengelihatannya bertemu dengan sebuah padang luas bersalju putih, di atasnya terdapat jejak kaki yang nyata, ditinggalkan oleh para penonton yang menuju kembali ke ibu kota.

Fengjiu mengambil napas dalam-dalam, angin dingin meresap masuk ke dalam organnya. Xiao Yan bilang, mengunjungi Zuilixian adalah yang terbaik ketika seseorang sedang dalam suasana hati tidak baik.

Kesedihannya memang tidak menghilang setelah kau sadar, tetapi paling tidak kau bisa melupakannya sejenak.

Jiheng tidak hangat pada Xiao Yan belakangan ini. Kata-kata Xiao Yan semua muram, namun ada beberapa kenyataan di dalamnya.

Ketika Fengjiu sedang menuju ke kota, selagi mencari sesuatu di lengan jubahnya, ia menyadari kalau ia lupa membawa uang karena ketergesaannya pagi ini. Ia berdiri bengong di tengah pertigaan, ia tidak dapat memikirkan tempat lain untuk pergi selain ke Zuilixian.

Sekarang semuanya terasa semu. Donghua telah menukarkan buah Saha dengan sekeranjang persik. Donghua semestinya tahu seberapa besar Fengjiu menginginkan buah ini, ia juga harusnya melihat usaha yang diberikan Fengjiu demi buah itu.

Namun, sepanjang perjalanan pulang, Fengjiu sama sekali tidak mengerti mengapa Donghua menukarkan hadiahnya. Mungkin Fengjiu harus pergi bertanya sendiri padanya. Jika Donghua tidak sangat membutuhkan buah ini, mungkin ia dapat memohon padanya untuk memberikan hadiah itu padanya.

Merasa pahit di titik ini, Fengjiu mengangkat tumitnya untuk menuju ke Jifeng Yuan ketika ia mendengar sebuah suara merdu memanggilnya dari belakang: “Putri Jiu’ge, mohon tunggu sebentar!”

Fengjiu menolehkan kepalanya. Orang yang sedang berjalan ke arahnya memang adalah Jiheng. Terakhir kali mereka bertemu adalah di acara makan-makan yang dibayarkannya sepuluh hari yang lalu.

Fengjiu masih bisa ingat samar-samar bahwa suasana hati Jiheng tidak terlalu baik kala itu, ia terlihat kurang senang. Sebaliknya, Jiheng tampak sangat ceria dan bersemangat hari ini, dan ada sedikit kemiripan dengan wanita muda yang datang ke Istana Taichen dua ratus tahun yang lalu.

Fengjiu melirik ke belakang sang putri, mata Jiheng mengikutinya. 

Jiheng tersenyum kecil: “Guru tidak ada di sini. Aku kemari mencarimu tanpa sepengetahuannya. Karena aku merasa bersalah telah mengambil apa yang kau inginkan tanpa terhindarkan, aku kemari untuk meminta maaf.”

Melihat ekpsresi wajah Fengjiu yang kebingungan, Jiheng melanjutkan: “Sejujurnya, aku juga menginginkan buah Saha tahun ini dari Mata Air Jieyou, jadi semalam aku mendatangi Guru untuk meminta buah itu. Ia menukarkannya demi diriku dengan sekeranjang persik dari Ratu Langit. Ketika aku melihat Yan Chiwu beberapa waktu yang lalu, ia memberitahuku kalau kau hanya ikut turnamen demi buah Saha ini. Bagaimana pun aku memikirkan soal ini, aku telah bersalah padamu kali ini ...”

Fengjiu sudah paham sekarang. Jadi, inilah yang terjadi, semua menjadi masuk akal sekarang. Tetapi mengapa Jiheng sendiri yang datang memberitahu Fengjiu soal ini ...

Fengjiu diam-diam mengamati Jiheng. Meskipun ia tidak terlalu menyukainya, dalam ingatan Fengjiu, Jiheng bukanlah orang jahat. Tetapi apakah Jiheng sungguh kemari untuk meminta maaf karena rasa bersalah, ataukah Jiheng hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk sengaja mempermalukan dirinya, Fengjiu tidak dapat memutuskannya sekarang.

Jiheng selalu baik padanya, tetapi Fengjiu juga tahu kalau si putri tidak terlalu menyukainya juga. Meskipun demikian, apa kegunaan pentingnya sehingga Jiheng ingin memiliki buah Saha, apakah ada keadaan genting yang menyangkut dirinya?

Jika Jiheng tidak terlalu membutuhkannya, dan jika ia benar-benar merasa bersalah, maka ... 

Fengjiu mengangkat pandangannya dan berkata, “Bisakah kau memberikanku separuh dari buah Saha ini? Aku bisa menukarkan apa pun yang kau inginkan dengan itu.”

Jiheng tercengang sejenak, seolah ia tidak dapat mempercayai Fengjiu berdiri di sana sekian lama hanya untuk meminta hal semacam ini. 

Bibirnya melengkung sekilas: “Putri Jiu’ge, alasan aku datang kemari meminta maaf padamu adalah karena aku tidak dapat membagikan buah Saha itu denganmu, bahkan tidak separuhnya.”

Jiheng selalu memiliki tata krama yang halus. Sebagai putri tertua dari Klan Iblis, setiap perkataan dan tindakannya sesuai dengan statusnya.

Fengjiu mengingat Jiheng selalu mengucapkan perkataan halus dan lembut, ia tidak pernah mendengar Jiheng mengatakan hal yang tidak baik. Jadi beginilah rupa Jiheng ketika ia mengutarakan ketidakbaikan.

Jiheng kemari memang bukan untuk meminta maaf. 

Jiheng mendekat, suara merdunya menjadi dalam, dan dengan ketenangan luar biasa, matanya menari lembut: “Ditambah lagi, ada sebuah permintaan lancang yang ingin kuutarakan pada Yang Mulia: mulai sekarang, tolong menjauhlah dari guruku.”

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar