Sabtu, 07 November 2020

3L3W TPB 1 - Chapter 6 Part 3

Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 1

Chapter 6 Part 3


Tetapi Fengjiu tidak perlu terlalu khawatir; sang pangeran sedang sibuk meyakinkan Donghua untuk membantunya. 

“Kau selalu tertarik pada keramik, kan? Aku menemukan sebuah kota keramik di wilayah Xuanming di Utara. Di sana punya tanah liat terbaik untuk membuat keramik, tetapi Xuanming menjaganya dengan ketat. Kalau kau membantuku membuatkan pedang ini, aku akan gambarkan sebuah peta dari tempat tanah liat berharga itu untukmu. Xuanming tak akan berani menolak jika kaulah yang memintanya.”

Tanpa tergesa Donghua menuangkan lebih banyak teh ke dalam cangkirnya. 

“Bagiamana kalau aku membawakanmu materialnya dan kau membuatnya sendiri?”

“Bukannya kau tidak kenal Xuanming dan aku tidak akur satu sama lain,” Liansong menghela napas. 

“Aku berkunjung ke kediamannya satu tahun untuk sebuah perayaan kecil dan istri mudanya entah bagaimana menyukaiku. Ia menulikan surat cinta padaku tiap hari. Xuanming masih belum melupakan hal itu.”

Donghua dengan ceroboh meletakkan kembali teko tehnya ke atas meja. 

“Aku tidak pernah suka berutang pada orang lain. Aku juga tidak suka memaksakan diri pada orang lain.”

Donghua mengelus bulu lembut Fengjiu dan melanjutkan, “Dalam beberapa hari, tukarkan semua keramik di istanamu dengan logam dan permata. Kemudian sebarkan sebuah rumor yang mengatakan kalau kau alergi pada keramik. Semakin bagus kualitasnya, maka kau akan semakin alergi. Aku yakin kalau Xuanming akan memberikanmu porselen terbaiknya untuk ulang tahunmu tahun ini. Lalu kau bisa memberikannya padaku.”

Liansong menganga dalam waktu yang lama.

Donghua menyesap tehnya dan mendongak, “Apakah ada masalah?”

Pangeran ketiga itu memaksakan sebuah senyum dan menggelengkan kepalanya, “Tidak, tidak ada masalah sama sekali.”

***

Ketika Liansong pergi, sudah nyaris mendekati tengah hari. Donghua menuangkan teh dan membawakannya untuk Fengjiu. Ia pun meminumnya dua tegukan. Donghua selalu memberikan Fengjiu makanan dan minuman yang baik.

Apabila Fengjiu adalah seekor peliharaan, maka Donghua adalah seorang majikan yang baik. 

Melihat kalau Fengjiu masih berbaring di sebelah gambar itu, Donghua pun bertanya, “Aku akan memilih material untuk membuat pedang ini. Apa kau mau ikut?”

Fengjiu secara meyakinkan menggelengkan kepalanya dan bahkan sengaja menjatuhkan diri mengantuk di gambar itu. Donghua mengelus kepala Fengjiu dan keluar seorang diri.

Segera setelah Donghua keluar dari pintu, Fengjiu dengan cepat mulai beraksi. Ia pernah belajar bagaimana menggunakan cakarnya untuk melakukan beberapa gerakan sulit.

Fengjiu menggulung gambar itu dengan kepala dan cakarnya kemudian menggunakan mulutnya untuk melemparkannya di punggung. 

Setelah itu, ia menyelinap keluar dari Istana Taichen menuju kediaman Siming Xingjun, berhati-hati menghindari para dewa-dewi muda yang sedang bercengkerama.

Siming dan Fengjiu memang sahabat sejak lama. Hanya dari beberapa gerakan saja, Siming tahu apa yang ingin dilakukan Fengjiu. Siming mengambil kertas gulung itu dari punggung Fengjiu dan dengan beberapa garis mengoreksi beberapa kekurangannya seusai petunjuk Fengjiu.

Selagi mereka baru saja akan menggulung gambar itu, Cheng’yu Yuanjun tiba untuk berkunjung. 

Penasaran ia pun mengintip dan mengomentari, “Siapa orang gila yang menggambar mainan seaneh ini?!”

Fengjiu menatap ke kejauhan dengan simpati di matanya dan merasakan sedih untuk si Pangeran ketiga.

***

Ketika Fengjiu dengan susah payah membawa kembali cetak biru itu ke ruang belajar, Donghua masih belum kembali. Dengan lincah, Fengjiu memanjat naik ke atas meja, mendorong gulungan di belakang punggungnya, dan melebarkan kertas itu lagi.

Fengjiu bertanya-tanya bagaimana caranya memberitahu Donghua dengan gestur kakinya kalau ada beberapa kekurangan dalam desainnya, dan Fengjiu telah meminta seorang teman untuk memperbaikinya sesuai dengan arahannya, lalu apakah Donghua senang dengan perubahannya.

Di saat ini, dua ketukan terdengar dari pintu. Setelah diam sesaat, pintu terbuka. Kepala cantik Jiheng terlihat. Melihat Fengjiu berada di atas meja belajar, si Putri yang bahagia pun cepat-cepat masuk ke dalam.

Di tangan Jiheng terdapat sebuah sutra Buddha. 

Ini pertama kalinya Fengjiu bertemu seorang anggota dari Klan Iblis yang begitu terpikat dengan pengajaran Buddha.

Jiheng mencari kemana-mana, lalu kembali untuk mengelus kepala Fengjiu. 

Ia tersnyum dan bertanya, “Apakah Dijun tidak berada di sini?”

Fengjiu memutar kepalanya untuk menghindari elusan Jiheng, lalu melompat ke kursi di sebelah ruang belajar. Jiheng tampaknya sedang dalam suasana hati yang baik; ia tidak mempermasalahkan tindakan Fengjiu yang tak bersahabat.

Jiheng menyenandungkan sebuah nada ceria dan mengambil sebuah kuas dari tempatnya. Kemudian ia melihat ke arah Fengjiu seolah meminta pendapatnya. 

“Ada satu bagian yang sangat sulit yang tak kumengerti hari ini. Tetapi keberadaan Dijun sering tak terduga. Apakah menurutmu aku bisa meninggalkan sebuah catatan untuknya?”

Fengjiu memutar kepalanya dan mengabaikan sang Putri. Jiheng baru saja mencelupkan kuas ke dalam tinta—ujung kuasnya bahkan belum menyentuh kertas yang ia temukan di atas meja, ketika pintu tiba-tiba saja terbuka.

Orang yang berdiri di pintu, membelakangi sinar matahari adalah si pemilik ruang baca ini, Donghua Dijun. Di tangannya, ada sebongkah logam hitam mengkilat.

Tanpa mempedulikan pada kehadiran lain di dalam ruangan, Donghua langsung menuju ke mejanya. Akhirnya Donghua melirik ke arah Jiheng yang masih memegang kuas mengambang di udara di atas bagian gambaran.

Donghua mengangkat gambaran itu dan mempelajarinya; hati Fengjiu serasa akan keluar dari tenggorokannya.

Donghua berkata pada Jiheng, “Apakah kau yang menambahkan dua perubahan ini? Mereka sangat bagus.”

Di dalam suara Donghua terdapat kekaguman yang jarang sekali ia tunjukkan. 

“Kukira kau hanya membaca buku. Aku tak tahu kalau kau mengetahui hal semacam ini juga.”

Suatu kelangkaan dapat menemukan seseorang yang mengerti soal persenjataan, terlebih lagi seorang wanita, jadi Donghua pun menambahkan dengan murah hati, “Cukup sulit untuk mengerti gambaran Liansong. Tetapi kau menemukan dua kelemahannya. Kakakmu benar saat ia mengatakan kalau kau berwawasan luas.”

Ekspresi wajah Jiheng memang biasanya agak ragu-ragu, tetapi ia tidak senang dan mencondongkan tubuhnya untuk melihat gambar itu.

Fengjiu memperhatikan tanpa mampu berkata-kata selagi Jiheng makin mendekatkan diri pada Donghua dan tak mencoba untuk menjauhkan diri. 

Malahan, Donghua dengan santainya menyerahkan gambar itu dan berkata, “Karena kau mengerti soal ini, dan sepertinya tertarik, bagaimana kalau kau ikut bersamaku besok saat aku mulai menempa pedang ini?”

Meskipun Jiheng tidak mengerti di bagian pertama, ia cukup paham dengan yang kedua. Dengan bahagia ia pun menyetujuinya. 

“Suatu kehormatan bagiku dapat bekerja bersama Yang Mulia dan mempelajari hal baru dari Anda.” 

Kemudian Jiheng mulai menunjukkan tanda kecemasan. 

“Tetapi aku agak ceroboh. Aku takut akan membuat Anda repot.”

Donghua melihat sekali lagi ke gambaran dan menyerahkan pada si Putri. Masih terdapat bukti kekaguman dalam suaranya. 

“Selama pikiranmu tidak ceroboh.” 

Fengjiu menatap dalam perasaan marah dan penuh konflik. Tak dapat menghentikan dirinya sendiri, Fengjiu melompat untuk mengigit tangan Jiheng. Jiheng pun langsung memekik kaget.

Di saat bersamaan, Donghua menangkap Fengjiu yang menyeramkan yang masih memperlihatkan gigi-giginya. 

Donghua mengernyit dan menurunkan nada suaranya, “Kenapa kau mengigit Jiheng tanpa alasan? Lagipula, ia juga penyelamatmu.”

Fengjiu ingin mengatakan kalau itu bukan salahnya. Itu karena Jiheng berbohong. Orang yang memperbaiki gambaran itu adalah Fengjiu, bukan Jiheng. Tetapi ia tak bisa mengutarakan sepatah kata pun.

Donghua mengangkat Fengjiu hingga bertatap muka dengannya. Sesuatu yang akan dilakukan pada seekor peliharaan; mereka tak akan pernah sebanding. Tiba-tiba saja Fengjiu merasa muram. Ia melepaskan diri dari pegangan Donghua dan berlari keluar ruangan.

Segera setelah Fengjiu pergi, air mata mulai mengalir. Ceroboh, ia terjatuh di ambang pintu. Ketika Fengjiu memutar kepalanya dan melihat melalui matanya yang digenangi air mata, ia hanya bisa melihat Donghua mengecek luka Jiheng.

Donghua tidak memperhatikan rubah tersiksa ini sama sekali. Fengjiu bahkan tidak mengigitnya dengan kuat. Ia tidak pernah berlaku kurang ajar bahkan ketika sedang marah. Jiheng mungkin yang terlalu sensitif.

Jika Fengjiu tahu, ia akan mengigitnya sedikit lebih ringan lagi. Setelah rasa kecewanya larut, kesedihan mengambil alih hati Fengjiu. 

Penderitaan seekor rubah, tetap saja penderitaan, bukankah begitu?

***

Fengjiu merasa kalau tindakan Donghua jelas menunjukkan kalau ia berpihak pada Jiheng. Dalam perselisihan, Donghua memilih untuk membantu Jiheng ketimbang dirinya.

Donghua bahkan langsung memarahinya sebelum mencari tahu kebenarannya. Merasa jengkel, Fengjiu menarik kepalanya dan bergulung di dalam semak bunga.

Fengjiu baru saja akan memilih titik yang lebih jauh, tetapi ia berharap Donghua akan cukup pintar untuk menyadari bahwa ia telah salah menuduh Fengjiu dan mencarinya untuk meminta maaf.

Bagaimana kalau Donghua tidak dapat menemukan Fengjiu karena ia duduk terlalu jauh? 

Tetap lebih baik duduk tak terlalu jauhDengan sedih, Fengjiu memutari seluruh Istana Taichen dan dengan muram ia memilih semak Sumo tepat di depan kamar tidur Donghua.

Agar dapat berbaring lebih nyaman, Fengjiu diam-diam pergi ke mata air di dekat sana dan mengumpulkan beberapa rumput Jixiang untuk membuat sebuah ranjang.

Sedih dan lelah, Fengjiu melengkungkan tubuh di sarangnya dan menguap. Setelah melawan rasa kantuk sebentar, kelopak matanya pelan-pelan turun dan akhirnya tertutup.

Ketika Fengjiu terbangun, bunga Sumo di atasnya bergemerisik tertiup angin. Fengjiu menjulurkan kepalanya dan menyadari kalau langit telah diterangi oleh bintang.

Begitu terangnya hingga Fengjiu dapat melihat debu di awan terdekat. Dedaunan dari Pohon Bodhi di halaman belakang sebelah sana memberikan cahaya kehijauan samar di malam sunyi seperti kunang-kunang yang mendarat diam di atas dinding istana.

Fengjiu berlari keluar untuk melihat apakah Donghua sudah kembali. Ketika ia mendongak, kamar tidur Donghua hanya beberapa langkah saja dan memang terang di dalamnya.

Fengjiu lagi-lagi bertanya apakah Donghua pernah keluar untuk mencarinya. Ia melompati tangga dengan ujung kakinya untuk melihat ke dalam melalui pintu yang sedikit terbuka. Dengan satu tatapan, Fengjiu membatu di depan ambang pintu.

Saat Fengjiu sedang melihat bintang barusan, Bintang Selatan telah berpindah ke langit ke-24. Dari pengetahuan astronominya yang minim, artinya sekarang telah lewat jam babi (lewat jam 11 malam).

Meski demikian, Donghua belum tampak mengantuk selagi ia memegangi sebuah kuas di jam segini seolah ia sedang bersiap untuk menggambar sesuatu, mungkin sebuah pembatas ruangan.

Tetapi, kenapa Jiheng ada di dalam kamar tidur Donghua? 

Fengjiu menempel di pintu kebingungan, tak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Di langit-langit kaca tergantung sebuah lampu hias yang menerangi seluruh ruangan selayaknya siang hari. Dalam jarak berjalan, seorang pria berjubah-ungu berdiri di depan sebuah kanvas putih polos selagi wanita berjubah-putih duduk di dekat meja, menyibukkan dirinya dengan sebuah lukisan.

Dari kejauhan, mereka seolah membentuk gambar mural yang sempurna, satu yang dilukis oleh ayahnya sendiri—artis paling berbakat di seluruh dunia.

Lampu hias itu berkedip terkena embusan angin. Memang harusnya diganti menjadi mutiara malam saja—mereka terang, natural, dan jauh lebih stabil.

Tetapi sepertinya, Donghua cukup menyukai efek gelap-terang yang ambigu beberapa tahun belakangan ini.

Di pemandangan yang hening itu, Jiheng tiba-tiba meletakkan kuasnya dan memiringkan kepalanya untuk berkata pada Donghua: “Tempat ini di mana pedangnya menutup ke dalam sebuah kotak yang memiliki sebuah tabung berisi jarum tersembunyi ... tentu saja sketsa Pangeran Ketiga sangat sempurna, aku hanya kesulitan memahami apa arti detailnya. Dijun ...”

Selagi Jiheng berbicara, ia melihat Donghua membasahi kuasnya di atas kanvas sutra putih itu, tenggelam, melupakan segalanya. Bunga Fuling muncul di bawah bulunya, melengkapi batas-batas dari layar itu.

Mereka terlihat halus dan hidup, seolah mereka memang bergerak tertiup angin. 

Putri Jiheng terdiam, kemudian mengubah cara panggilnya lembut: “... Guru ...”

Meskipun suara Jiheng terdengar lebih kecil dari suara nyamuk, Donghua tetap bisa mendengarkannya. Donghua berhenti dan menoleh ke arah Jiheng. 

Tanpa menolak panggilan baru itu, Donghua mengatakan dua kata biasa: “Ayo lanjutkan.” 

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar