Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 1
Chapter 6 Part 4
Pandangan mata Fengjiu selalu tajam. Bahkan dengan pencahayaan yang tidak stabil, bahkan dari jarak sejauh ini, ia masih bisa menyadari rona merah merayap di pipi Jiheng ketika ia menurunkan kepalanya.
Jiheng menurunkan tatapan matanya ke lantai yang mengilap terpantul cahaya.
“Maksudku adalah, bisakah Anda berhenti sejenak untuk membantuku ...”
Fengjiu senang melihat betapa cerobohnya Jiheng. Tetapi kebahagiaannya tak punya waktu untuk menyebar ketika ia menjadi kecewa. Ia merasa senang bahwa hal yang menyulitkan Jiheng adalah hal yang sangat mudah baginya; artinya, Fengjiu jauh lebih pintar dari si Putri.
Lalu Fengjiu sedih karena hanya ini satu-satunya hal yang bisa ia lakukan lebih baik daripada sang Putri, tetapi bahkan hal ini pun dicuri darinya.
Fengjiu diam-diam berharap Jiheng bahkan tak bisa melakukan hal sesederhana ini.
Bagaimana Donghua akan mengejeknya dengan kepribadian miliknya itu?
Fengjiu menanti gugup untuk kelanjutan episodenya. Tak seperti harapannya, Donghua tidak mengatakan apa pun. Donghua hanya menerima kuas itu dari tangan Jiheng, membungkuk untuk menggambar dua garis di atas cetak biru itu.
Lalu dengan lembut Donghua menjelaskan, “Ini adalah sebuah tangkapan logam. Mendorongnya akan menarik pedangnya kembali. Liansong menggambarkannya terlalu kasar.”
Setelah penjelasan pendek, Donghua mengangkat kepalanya untuk melihat ke arah Jiheng lagi.
“Mengerti sekarang?”
Donghua tampak cukup sabar untuk menjelaskan lebih lanjut jika Jiheng membutuhkannya. Fengjiu tanpa sadar menganga.
Biasanya ketika Fengjiu sedang muram atau ketika Zhonglin melakukan sesuatu yang tak disukai oleh Donghua, ia akan selalu menggoda mereka dan menggosok ego mereka seolah itu memang adalah sifat keduanya.
Tetapi Donghua tidak menyakiti kebanggaan Jiheng; ia begitu lembut terhadap Jiheng.
Di bawah cahaya yang bergoyang, ketika Jiheng yang merona menganggukkan kepalanya, Donghua meletakkan kuasnya di atas batu tinta dan menatapnya.
“Liansong juga menggambar kasar dua bagian lainnya,” Donghua berkomentar.
“Bukankah nyatanya kau memperbaiki mereka dengan sangat baik? Yang ini tidaklah sesulit dua lainnya.”
Bingung, semu merah di pipi Jiheng tampak berkurang sedikit.
Ia menjawab setelah beberapa lama, “... Dua titik itu,” ia menjeda, “adalah tebakan beruntung saja.”
Jiheng tersenyum ragu.
“Aku hanya pernah membaca buku sendiri, jadi aku hanya mengetahui hal-hal biasa. Aku mempelajari banyak hal dengan mengikuti Anda sekarang, Guru.”
Warna merah itu kembali ke roman wajah Jiheng, mengambil alih wajah pucat keabuannya. Masih diam, mata Jiheng kemudian jatuh pada pembatas ruangan milik Donghua dan mereka tiba-tiba saja bersinar terang.
Jiheng berkata pelan, “Sudah larut, tetapi ... aku ingin menyelesaikan gambaran malam ini juga jadi Anda bisa segera memulai pekerjaan Anda. Jika aku menyelesaikannya malam ini, bolehkah aku memiliki pembagi ruangan ini sebagai hadiah?”
Donghua tampak sedikit kaget, tetapi akhirnya menyetujuinya dengan satu kata simpel: “Ya.”
Di saat bersamaan, bulu-bulu menyentuh kain putih itu. Dengan beberapa sapuan, pemandangan sebuah shan-shui muncul dengan bukit-bukit pegunungan di belakang kabut.
Jiheng meletakkan kuas di tangannya dan menghampiri untuk memuji sapuan kuas Donghua. Tak dapat menahan kantuknya, Jiheng menutupi mulutnya dan menguap beberapa kali.
Tanpa menghentikan acara melukisnya, Donghua menyuruh Jiheng, “Kembali dan istirahatlah. Kau bisa menyelesaikannya besok.”
“Tetapi itu akan mempengaruhi jadwal Anda,” kata Jiheng, menutupi kuapnya.
Jiheng melirik ke pembatas ruangan itu dan berkata malu-malu: “Aku akan menyelesaikan tugasku jadi aku bisa membawa pembatas ini bersama denganku ...”
Donghua mencelupkan kuas berbulu serigala itu ke dalam wadah air dan menggantinya dengan kuas berbulu kambing yang lebih kecil.
“Apa artinya satu hari? Saat aku sudah menyelesaikan layar ini, aku akan meminta Zhonglin membawakannya padamu.”
***
Bahkan, hingga sekarang, Fengjiu tidak tahu bagaimana ia meninggalkan kamar tidur Donghua malam itu. Banyak orang memilih untuk melupakan hal yang terkait dengan kejadian yang membuat mereka trauma.
Fengjiu menduga kalau ia adalah salah satu dari orang-orang ini. Ia hanya ingat kalau ia mungkin saja kembali ke sarangnya dan menatap bintang selama beberapa saat lagi.
Dalam pikiran kosongnya, Fengjiu masih menyimpan dalam hati pertanyaan apakah Donghua pergi mencarinya atau tidak. Lalu, Fengjiu berpikir pada dirinya sendiri, jadi Donghua bisa mengiyakan jika seseorang memintanya. Tetapi kenapa Donghua tidak pernah melakukan itu padanya?
Fengjiu terbiasa melamun tentang hari di mana ia akan bertemu Donghua dalam wujud manusianya, atau bahkan hari di mana Donghua akan menyukainya. Bagaimana mereka akan menghabiskan waktu berdua?
Tetapi setelah melihat Donghua dengan Jiheng malam ini, bahkan jikalau hari semacam itu tiba—Donghua bertemu dengannya, ia pikir, yah hanya akan seperti itu.
Jiheng datang ke Istana Taichen sebagai pengantin wanita Donghua, untuk jadi satu-satunya yang berada di sisinya. Fengjiu-lah yang menolak untuk melihat kebenaran di matanya.
Apakah Fengjiu dan Donghua akan pernah mengalami hari itu—untuk pertama kalinya ia menyadari kalau hal semacam itu tak lebih dari mimpi yang sia-sia.
Datang hingga sejauh ini dan ke tempat aneh yang disebut Jiuchongtian, melakukan begitu banyak pengorbanan ... mereka tidak akan mendapatkan akhir semacam ini.
Fengjiu datang dengan harapan setinggi langit, tetapi sekarang apa yang akan dilakukannya, apa yang akan menjadi langkah berikutnya—ia tidak punya ide sama sekali.
Fengjiu hanya merasa lelah dan capek di tengah angin malam yang dingin ini. Ia mendongak untuk menatap bintang-bintang di atas langit. Ini pertama kalinya dalam empat ratus tahun, Fengjiu merindukan rumahnya.
Fengjiu merindukan Qingqiu yang sangat jauh; ia merindukan keluarga yang ditinggalkannya. Malam ini sangat indah ... tetapi bagaimana bisa Fengjiu justru merasa hancur lebur?
***
Donghua tidak datang mencarinya malam itu, ataupun malam-malam setelahnya. Dulu Donghua selalu membawa Fengjiu kemana pun dengannya.
Apakah karena Donghua sangat kesepian, Fengjiu diam-diam berpikir, karena ia butuh sesuatu, apa saja, selain dirinya? Tak peduli apa itu?
Sekarang Donghua punya seorang murid yang pintar dan cantik bernama Jiheng di sampingnya. Tak hanya Jiheng dapat membantunya mengerjakan hal-hal kecil, ia juga dapat menemani Donghua, ngobrol dengannya. Donghua tidak lagi membutuhkan rubah kecil ini.
Semakin Fengjiu memikirkannnya, semakin ia yakin bahwa bagaimana pun juga itulah kenyataannya, dan kesedihan lagi-lagi mengambil alih dirinya.
Jiheng dan Donghua tak terpisahkan belakangan ini. Fengjiu menyadari kalau Jiheng punya cara untuk menarik Donghua dengan perkataannya.
Sebagai contohnya, kalau Donghua baru saja menyelesaikan sebuah botol anggur keramik yang indah dan sedang memainkannnya di tangannya, dan jikakalau Fengjiu dapat berbicara, ia akan mengatakan sesuatu yang bodoh seperti ‘botol ini pasti akan menghasilkan uang yang banyak.’
Tetapi Jiheng berbeda.
Ia menyentuh botol anggur ramping itu dengan hati-hati dan tersenyum lembut selagi memberitahu Donghua: “Guru, jika Anda menggunakan bubuk batu merah untuk membakar tanah liatnya, mungkin saja botol ini akan memiliki warna seperti matahari tenggelam yang cantik.”
Meskipun Donghua tidak membalasnya, Fengjiu bisa tahu dari ekspresinya kalau ia menghargai komentar Jiheng.
Fengjiu meringkuk di atas rerumputan untuk mengamati mereka lebih lama. Tetapi semakin ia menonton, semakin jengkel-lah dia, jadi Fengjiu mengibaskan ekor panjangnya dan pergi mencari tempat bermain lain.
Ketika Fengjiu berdiri dan terhuyung karena anggota tubuhnya yang baru saja bangkit dari tidur, Jiheng langsung menyadari keberadaannya dan cepat-cepat mendatanginya, membuka kedua lengannya.
Fengjiu harus mengagumi si Putri yang tidak mendendam padanya. Pemandangan akan kedua tangannya yang terulur akhirnya mengingatkan Jiheng akan bekas gigitan dari waktu itu. Ia pun terdiam ragu.
Fengjiu mendongak menatapnya dan melihat kalau Donghua juga mengikuti Jiheng kemari. Tetapi karena tubuh depannya masih sulit digerakkan, Fengjiu tak bisa pergi kemana pun, jadi ia menurunkan matanya ke tanah dan memutar kepalanya dengan terluka ke samping.
Gaya Fengjiu ini terlihat sangat imut bahkan Jiheng segera melupakan keraguannya dan menarik Fengjiu ke dalam pelukannya. Ia mengelus bulu di kepala Fengjiu, dan setelah menyadari tak ada penolakan kali ini, dengan senang hati lanjut mengelus si rubah peliharaan.
Jiheng tidak tahu saja kalau itu bukan karena Fengjiu tidak mau melawan; ia hanya terlalu kebas untuk melakukannya. Di saat bersamaan, ia ingat ketika Jiheng ingin memelihara Fengjiu pada awalnya, penolakan Donghua saat itu sangat ringkas dan dingin.
Sekarang Donghua hanya berdiri diam seolah terhibur melihat ini meskipun Jiheng sedang mencekiknya seperti ini. Perlakuan Donghua pada Jiheng memang berubah.
Jiheng mengelusnya untuk beberapa lama sebelum mengangkat Fengjiu dan bertanya, “Aku pikir kau menyukaiku ketika kita berada di Lingkup Teratai. Kau juga sangat sedih melihatku pergi. Oh, atau kau juga merasa bergantung pada Guru? Tetapi bersama-sama, baik Guru dan diriku bisa menjagamu sekarang. Bukankah harusnya kau senang?”
Melihat tak ada respon, Jiheng dengan yakin membawa Fengjiu ke tempat pembuatan keramik di mana ia dan Donghua sedang berbincang. Fengjiu merasa kalau sirkulasinya sudah kembali dan ingin lepas dari pelukan Jiheng, tetapi Jiheng jauh lebih kuat dari yang terlihat; pegangannya pada Fengjiu tetap kuat.
Jiheng berjalan ke kursi batu dan menunjukkan pada Fengjiu sebuah mangkuk yang baru terbentuk dari tanah liat.
Ia berkata senang pada Fengjiu, “Ini adalah mangkuk yang dibuat Guru dan diriku, khusus untukmu. Kami ingin menambahkan desain di atasnya, dan kami pikir, bukankah akan lebih menarik kalau itu adalah jejak telapakmu sendiri?”
Kemudian Jiheng mengambil kaki depan Fengjiu dan meletakkannya di atas mangkuk itu.
Ego Fengjiu seketika kembali setelah berhari-hari berkeliaran di luar.
Suara Jiheng yang biasanya terdengar seperti kicauan burung, untuk beberapa alasan terdengar berduri hari ini, terlebih kalimat seperti: “Guru dan aku akan menjagamu. Guru dan aku membuatkanmu sebuah mangkuk.”
Kenapa Fengjiu tetap di wujud ini di sisi Donghua dan membuat begitu banyak usaha hanya untuk mencapai posisi sebagai peliharaannya.
Fengjiu sungguh tidak berguna. Ia adalah dewi yang paling dicintai di Qingqiu.
Walaupun kerajaan Qingqiu banyak sekali kekurangan tata kramanya di mata ketat Jiuchongtian, tempat makannya bukan berasal dari mangkuk tanah liat biasa, dan Fengjiu tidak tidur di sebuah sarang jerami. Dipenuhi dengan amarah, ia memutar cakarnya dan memberikan Jiheng satu cakaran.
Cakar Fengjiu tajam dan melengkung; ia juga tidak memperhatikan kekuatannya. Jiheng yang sedang mendekapnya begitu dekat, hingga seluruh cakarnya mengenai pipi Jiheng, meninggalkan bekas lima cakaran panjang. Dua yang terdalam bahkan mulai mengeluarkan darah.
Kali ini Jiheng tidak menangis kesakitan. Ia hanya duduk di sana mati rasa; ekspresinya adalah syok yang bercampur dengan ragu. Mangkuk yang baru saja dibuat itu terjatuh dari tangannya dan pecah di tanah.
Darah dari wajah Jiheng mengalir semakin banyak seiring berjalannya waktu; dua tanda sudah membentuk dua aliran kecil—menetes turun dan membuat warna kerah Jiheng semerah darah.
Fengjiu menatap ragu. Samar-samar, Fengjiu menyadari bahwa kenekatannya, ia telah menciptakan masalah besar.
Dengan satu tangan, Donghua menutupi luka Jiheng menggunakan saputangannya; satu tangan lainnya, Donghua menangkap Fengjiu di tengkuknya dan menjauhkannya dari pangkuan Jiheng.
Jiheng akhirnya lepas dari lamunannya dan gemetaran mengambil lengan jubah Donghua untuk mengelap air matanya.
“Aku ... aku hanya ingin berteman dengannya.”
Jiheng lalu terisak, “Apakah ia benar-benar membenciku? Aku kira ... aku kira ia pernah menyukaiku sebelumnya.”
Donghua mengernyit selagi ia menyerahkan sehelai saputangan lagi pada Jiheng. Berbaring sedatar tanah, Fengjiu menatap bingung perlakuan Donghua.
Betapa sensitifnya orang ini kadang-kadang, pikir Fengjiu. Pasti sangat menyakitkan bagi Donghua untuk melihat air mata Jiheng mengalir di wajahnya yang terluka seperti ini. Saking menyakitkan Donghua, hingga ia menyerahkan saputangan untuk menghapus air matanya.
Ada langkah kaki tergesa yang mendekat dari belakang. Fengjiu masih tidak mempedulikan untuk melihat siapa yang datang.
Ia hanya melihat Donghua berbalik dan berkata: “Dia sulit dikendalikan belakangan ini. Kurung dia.”
Hingga Zonglin membungkuk hormat dan patuh barulah Fengjiu mengerti untuk siapa kata ‘sulit dikendalikan’ itu ditujukan.
0 comments:
Posting Komentar