Sabtu, 07 November 2020

3L3W TPB 1 - Chapter 11 Part 4


Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 1

Chapter 11 Part 4


Tangan itu kini mengoleskan sesuatu seperti salep ke keningnya yang bengkak. Tangan itu terus mengelusnya lembut. Terasa menyenangkan, seperti sebuah mimpi indah, dan Fengjiu tertidur lebih lelap.

Ah, ini adalah aroma salep cotton rosemallow

Fengjiu tahu sekarang! 

Salep Mufurong dapat meredakan rasa sakit dan mengobati bengkak. Ia tahu sekali soal ini.

Ketika ia masih seekor bayi rubah di Istana Taichen, Fengjiu sering berlari ke kebun kecil untuk memetik beberapa bunga Mufurong. Pada saat itu, bersebelahan dengan dinding yang diselimuti Bodhi, terdapat beberapa tanaman Mufurong. Kelopak rapuh mereka bertebaran di tanah setiap kali angin bertiup.

Fengjiu menggunakan kakinya untuk mengumpulkan kelopak bunga di dalam kantong sutra yang diberikan Zhonglin padanya. Ketika Fengjiu sudah punya cukup kelopak bunga, ia akan mengencangkan ikatan kantong dengan giginya dan berlari gembira ke mata air kecil di dekat sana untuk merendam kelopak itu menjadi salep yang nantinya akan ia berikan pada Donghua untuk mengobati luka-lukanya.

Dulu, tangan Donghua sering pecah-pecah entah karena alasan yang tak bisa dijelaskan. Saat ia memberikan salep bunga itu pada Donghua, ia akan mengelus telinga Fengjiu.

Fengjiu bukanlah seorang yang puitis, tetapi ia menuliskan sebait pendek hari itu dalam ingatannya akan perasaannya:

Bunga mekar dan layu, bunga menjadi bubuk. Dalam kebahagiaan dan harmoni, selalu bersama, kau dan aku.”

Ketika Fengjiu menunjukkan puisi ini pada Siming, ia terbahak-bahak dan memberitahu Fengjiu ia mau muntah karena kegombalan Fengjiu. 

Fengjiu mendengung dan menunjukkan kalimat tambahan: “Kau mungkin ingin muntah, tapi aku tidak.”

Saat Fengjiu pergi dengan gembira, ekornya mengibas, ia berpikir sendiri, kalau ia hanya pernah menuliskan satu puisi seumur hidupnya, tetapi orang yang ia tujukan tak akan pernah bisa membacanya. Dalam mimpinya, Fengjiu merasakan sebuah kesedihan mendadak.

***

Lengan Fengjiu tiba-tiba saja terangkat. Pakaian dalam sutranya diturunkan hingga ke bahunya. Rasa dingin di hatinya dengan cepat menyebar hingga ke jari tangannya. Fengjiu menggigil.

Mimpi ini mulai terasa terlalu nyata. Pikiran kaburnya mulai terbangun akibat menggigil tetapi Fengjiu masih belum sanggup membuka matanya. Meskipun kelopak matanya terasa berat, ia berhasil membukanya sedikit.

Bayangan yang menjadi semakin jelas di bawah secercah cahaya itu ternyata adalah Dijun. Kepalanya sedikit dimiringkan dan tangannya masih berada di bahu Fengjiu.

Rambut perak panjangnya mengalir seperti cahaya bulan di atas selimut sutra. Rambut Donghua sedikit kusut, memberikan wajah tampannya sedikit tampang lesu; matanya yang tenang melihat ke arah Fengjiu di bawah lampu yang bercahaya.

Dijun biasanya berambut kusut bahkan ketika ia tidur dalam posisi yang benar. Bagi Fengjiu, bagian diri Donghua yang ini sungguh sangat manis. Betapa nyata mimpi ini. Akan tetapi, tetaplah harus ada alasan di dalam mimpi.

Fengjiu ingin menanyakan Donghua, mengapa ia pulang begitu larut? 

Lalu Fengjiu menjawab dirinya sendiri kalau itu mungkin dikarenakan Donghua membantu menghitung memarnya dari latihan tadi pagi.

Kemudian, Fengjiu ingin bertanya pada Donghua, mengapa ia harus datang di tengah malam? 

Lalu, Fengjiu menjawab dirinya sendiri lagi, kalau salep Mufurong bekerja paling baik ketika si pasien berada dalam keadaan tenang.

Setelahnya, Fengjiu ingin menanyakan Donghua, mengapa ia perlu membuka baju Fengjiu, apakah ia tidak tahu sopan santun? 

Lalu, Fengjiu mendesah dan menjawab dirinya sendiri, Donghua tidak pernah mempedulikan hal semacam itu.

Donghua hanya akan menganggap Fengjiu seorang wanita bertingkah jika ia menyebutkan soal hal-hal ini. Namun, selain pertanyaan-pertanyaan ini, ia tidak punya hal lain untuk ditanyakan.

Fengjiu harusnya berteriak ketakutan, lalu ia harusnya melarikan diri ke sudut, menyembunyikan dirinya di bawah selimut, dan terlihat ketakutan serta marah saat ia tengah dimanfaatkan selagi ia melotot pada Dijun.

Fengjiu telah memikirkan semua hal di atas, tetapi ia justru akan terlihat semakin bertingkah kalau seperti itu. Seseorang tidak pernah boleh merespon secara biasa jika berurusan dengan Dijun. Fengjiu harus tetap dingin dan tenang.

Fengjiu berbaring diam dan membiarkan tangan Dijun tetap di bahunya yang memar. 

“Aku sudah bangun,” ia berkata kaku.

Dalam cahaya lilin, Donghua melihat Fengjiu sejenak, menarik tangannya dan mengocok salep dari botol porselen untuk dioleskan ke bahu Fengjiu. 

“Bagus, kalau begitu buka kerah bajumu. Aku tidak bisa meraih bahu belakangmu.”

Bagaimana bisa Donghua tetap memasang wajah datarnya selagi meminta Fengjiu membuka pakaiannya? 

Tercengang sekian lama, Fengjiu akhirnya menarik selimut hingga ke dagunya, membalikkan tubuhnya dari Donghua, dan berkata, “Aku akan tidur lagi.”

Selagi Fengjiu berbalik, Donghua menghentikannya. Ia memegangi bahu kiri Fengjiu yang tidak memar dan menurunkan dirinya. 

“Apa kau takut aku akan melakukan sesuatu?”

Terdapat secercah kegelian dalam suara Donghua. Fengjiu membalikan tubuhnya lagi dan melihat kalau wajah Donghua hanya berjarak seinci darinya. Permata berwarna nila di kening Donghua merefleksikan cahaya dari lilin, sebuah senyuman menari dalam matanya. Fengjiu menatapnya linglung.

Dengan santai, Donghua melihat Fengjiu dari ujung kepala ke ujung kaki. 

“Apa yang mungkin kulakukan dengan keadaanmu yang terluka begini?”

Fengjiu mundur dan berkata sengit, “Kalau kau tahu aku terluka parah, kenapa kau tidak membantuku saat siang tadi? Kenapa susah payah berpura-pura baik sekarang.”

Saat Fengjiu memiringkan kepalanya ke belakang, dagunya menyentuh luka di bahu dan ia mengerang kesakitan. Inilah ketika ia sadar, ia tidak memperhatikan kalau memarnya telah diobati, semuanya kecuali satu di bagian bahu belakang. Hanya bagian itu yang tetap sakit.

Dijun sedikit mundur dan berkata, “Tentu saja kau harus bangkit sendiri selama latihan setelah terjatuh. Hanya dengan begitulah latihannya dapat bekerja. Lebih baik bagiku tidak selalu ada untuk menolongmu.”

Kemudian, Donghua menaikkan tangannya untuk membuka kancing Fengjiu dan meninggikan posisi Fengjiu dengan sebuah bantal di belakang punggungnya. Gerakannya yang tak berubah tidak menunjukkan keraguan.

Ketika salep sejuk itu dioleskan ke memar yang ada di bahu seputih susunya, Fengjiu lagi-lagi menegang. Sejujurnya, Donghua memang benar. Alasannya memang masuk akal.

Walaupun Fengjiu mengakui kenyataan ini dalam pikirannya, ia tetap mendengus keras kepala, “Kau berbicara seolah aku ini benar-benar tidak berguna. Bukankah aku hidup dengan baik tanpa bantuanmu selama ini setelah terjatuh ke bawah sini?” ia menambahkan, “Aku tidak punya satu goresan pun sebelum bertemu kembali denganmu. Tapi lihat semua luka-luka yang disebabkan olehmu sekarang!”

Tangan Donghua tampak terhenti di atas bahu Fengjiu lebih dari yang dibutuhkan. Ia melengkungkan alisnya ke arah Fengjiu. 

“Tanpa perlindungan dari Kurungan Tiancang, kau pasti sudah hancur berkeping-keping ketika kau jatuh di gerbang kerajaan Fanyin. Kau tidak akan tetap di sini untukku siksa.”

Dengan cepat Fengjiu membalas, “Xiao Yan yang menolongku ...”

Fengjiu terdiam di tengah perkataannya. Ia dan Xiao Yan terjatuh dua kali dari jurang. Selain yang kedua kali ketika mereka mendarat di atas Meng Shao, semuanya memang berjalan begitu mudah bagi mereka.

Fengjiu tidak tahu apakah itu adalah keberuntungannya atau keberuntungan Xiao Yan  yang telah menyelamatkan mereka. Ternyata, sebenarnya Kurungan Tiancang milik Donghua lah yang telah melindungi mereka?

Penemuan ini melumpuhkan lidah Fengjiu. Ia mengigit bibirnya tak tahu harus berkata apa. Jadi Dijun tidak meninggalkannya untuk membusuk.

Fengjiu telah mendengar seberapa pentingnya Kurungan Tiancang di antara para dewa, tetapi Donghua meninggalkan kurungan itu pada Fengjiu untuk menjaganya. Donghua telah berbuat baik dan terhormat, tapi kenapa ia tidak mengatakannya lebih cepat?

Bagaimanapun juga, bukan ide yang bagus bagi Fengjiu untuk menyimpan benda sepenting itu. Ia hanya pernah melihat Kurungan Tiancang sekali ketika pertarungan Donghua dengan Xiao Yan. Energinya terasa begitu berbeda dari berbagai objek mistis lainnya. Fengjiu bertanya-tanya di mana Donghua menyembunyikan kurungan itu dalam tubuhnya.

Kebingungan, Fengjiu menengadahkan kepalanya untuk bertanya pada Dijun: “Kalau begitu ... di mana dia?”

Fengjiu terbatuk canggung dan memalingkan kepalanya. 

“Aku sangat bersyukur karena Kurungan Tiancang telah melindungiku selama ini, tapi bukan ide yang bagus untuk meninggalkan benda seberharga itu padaku. Aku tetap harus mengembalikannya padamu.”

Dijun memegangi lilin di tangannya dan memijat memar di bahu Fengjiu. 

“Untuk apa kau mengembalikannya padaku? Itu hanyalah perwujudan dari energi suciku. Setelah aku mati, itu akan menghilang dengan sendirinya.”

Donghua mengatakannya begitu saja, membuat Fengjiu semakin kebingungan. 

“Kau juga akan mati? Kenapa kau akan mati?”

Meskipun para dewa tidak terikat oleh kematian, kehidupan kekal hanya mungkin jika tidak ada musibah besar yang menimpa dunia. Akan tetapi, terdapat sekian banyak musibah di Langit hingga Bumi.

Sejak bermulanya waktu, tak terhitung jumlah para dewa dewi yang mati karena malapetaka ini. Fengjiu mendengar kalau menuju akhir era sebelum sejarah, terdapat begitu banyak dunia manusia di dalam trichiliocosm.

Menjadi yang terlemah, Klan manusia didorong ke lingkup yang lebih rendah. Namun, semenjak lingkup yang lebih rendah baru saja dibuat pada saat itu, urutan mendasar masih belum terpancang.

Kekeringan, kebanjiran, dan iklim yang dingin sekali mengambil alih, mewabah di dunia mereka. Para manusia kesulitan untuk hidup. Sejumlah dewa yang mendatangi Donghua telah menghabiskan beberapa waktu untuk menentukan kondisi natural yang sesuai dengan karakteristik manusia.

Menghabiskan energi mereka dalam usaha ini, mereka pun akhirnya meninggal. Jiwa mereka kembali ke kekacauan spasial dan tak ada tanda mereka yang tersisa di dunia ini.

Fengjiu samar-samar memahami bahwa para pendiri harus memikul tanggung jawab yang berat karena kemampuan mereka yang luar biasa. Mereka harus mengorbankan nyawa mereka demi kelangsungan hidup dunia.

Namun, Donghua tetap hidup hingga hari ini. Fengjiu berasumsi ia berbeda dari yang lainnya. Jika memang ada hari dimana Donghua akan menghilang, itu merupkan hal yang jauh. Sekarang karena Donghua menyebutkannya, Fengjiu merasa bahwa itu tidak akan lama lagi.

Mendadak cemas, rasa dingin mengambil alih tubuh Fengjiu dan tenggorokannya jadi kering. 

Fengjiu tersendat, “Kalau memang begitu ... kapankah kau akan ...?”

Dupa yang menyebabkan kantuk masih tersisa banyak di udara. Beberapa kunang-kunang menyelinap masuk dari celah jendela. Donghua tampak terkejut dengan pertanyaan Fengjiu.

Donghua mengancingkan kembali kerah Fengjiu setelah berpikir sejenak, menjawab, “Semenjak bermulanya waktu, belum pernah ada bencana alam yang begitu parah hingga mengarah pada sebuah kiamat. Jika hari itu datang, maka itu akan jadi saat kapan aku harus pergi.”

Donghua melihat Fengjiu sekilas dan senyuman terpancar di matanya. 

“Tetapi ini tidak akan terjadi paling tidak masih beribu-ribu tahun lagi. Kau belum perlu cemas untuk menangis.”

Terpesona oleh dupa yang unik, makin banyak kunang-kunang mengisi kamar itu. Mereka mirip dengan permata zamrud berbintik di gelapnya malam.

Donghua disebut Muka Es oleh Yan Chiwu (mereka yang tak disukainya semua dipanggil begini, Donghua merupakan yang pertama dalam daftar itu).

Meskipun terdapat beberapa fakta dalam nama panggilan ini, itu bukan digunakan untuk mengartikan kepribadiannya yang dingin; lebih digunakan untuk mengartikan ekspresi datarnya bahkan selagi menghina orang lain dan wajah tanpa senyumnya terus-menerus.

Donghua banyak tersenyum malam ini. Entah pada matanya atau dalam nada suaranya, itu sudah cukup membuat Fengjiu silau. Tetap saja, Fengjiu mendengarkan apa yang baru saja Donghua katakan degan jelas.

Fengjiu dengan lemah membantah, “Kenapa aku harus cemas?” dengan menghela napasnya diam-diam, tenang karena perkataan Donghua.

Fengjiu menyeringai ke arah Donghua, lalu setelah terdiam sejenak, ia mengubah topik: “Aku tidak melihat adanya luka baru di tanganmu, kenapa kau masih membawa-bawa salep Mufurong bersamamu?”

Donghua terdiam cukup lama karena pertanyaan ini. 

Akhirnya, ia berkata, “Bagiamana kau bisa tahu kalau aku sering terluka?”

Fengjiu berkeringat. Seharusnya, tidak ada seorang pun yang tahu soal lukanya selain pelayan terdekatnya dan si rubah kecil itu. Bahkan Bibi Bai Qian yang punya hubungan dekat dengan Jiuchongtian tidak tahu soal fakta ini, apalagi Fengjiu.

Beruntung, akalnya datang dan menyelamatkan Fengjiu di menit terakhir. 

“Bukankah itu salep Mufurong yang digunakan untuk mengobati luka-luka di tangan?”

Fengjiu berpura-pura mengintip ke dalam mangkuk porselen di tangan Donghua. 

“Apakah kau yang membuat sendiri salep ini? Tercampur dengan sangat baik ...”

Donghua mencampurkan sisa salep di dalam mangkuk dan menurunkan pandangannya pada Fengjiu, menjawab, “Aku pernah punya seekor bayi rubah. Dialah yang membuat salep ini.”

Fengjiu memuji dirinya sendiri dengan murah hati, “Pastinya pintar sekali rubah itu. Salep ini begitu lembut dan harum ... erm, tetapi kenapa kau mengoleskannya pada wajahku?”

Donghua membungkukkan tubuhnya, mengoleskan sisa salep ke wajah Fengjiu, dan dengan santai menjawab, “Yah, masih ada sisa sedikit, dan kudengar ini juga perwatan kulit yang bagus jadi kita tidak boleh menyia-nyiakannya.”

Fengjiu membebaskan dirinya dan mengambil sedikit salep dari wadah porselen dengan jarinya. Fengjiu menerjang Donghua dan menyeringai. 

“Ini, barang bagus harus dibagi-bagi, kau juga harus menggunakannya ...”

Fengjiu mendorong Donghua ke bawah dan menggunakan tangan lainnya untuk mengoleskan salep Mufurong di kening Donghua. Mata Donghua berkilat. Beberapa kunang-kunang mendarat di bahu Donghua, beberapa lagi di layar pembagi ruangan; teratai layu di atas kanvas pun menjadi hidup di bawah cahaya mereka.

Fengjiu berlutut di atas Donghua; dengan satu tangan memegangi lengan Donghua di bawah selimut, satu tangan lainnya membuka ikat kepala dari kening Donghua. Ini adalah pertama kalinya Fengjiu menatap mata Donghua dari jarak sedekat ini.

Pria ini merupakan dewa yang paling dihormati di dunia, orang yang paling dikaguminya. Fengjiu mendadak menyadari posisi canggung mereka dan langsung membeku di tempat.

Dijun tidak melawan pelecehannya. 

Dengan sedikit perhatian, Donghua hanya berkata pada Fengjiu, “Bukankah kau bilang barang bagus harus dibagikan? Kenapa kau berhenti?”

Donghua mengambil tangan Fengjiu yang mundur dan meletakkannya di wajahnya sendiri, melihat ke dalam mata Fengjiu dengan tenang selama hal ini berlangsung.

Fengjiu merasa wajahnya terbakar. Ia merangkak turun dari Donghua dan segera ke sudut. 

Menyembunyikan dirinya di bawah selimut dan berbaring di atas bantal porselen, Fengjiu menguap dibuat-buat: “Aku mengantuk. Tutup pintunya untukku ketika kau keluar.” 

Untuk beberapa alasan, suara Fengjiu bergetar.

Dijun terlihat kecewa. 

“Kau akan tidur tanpa mencuci tanganmu?”

“... Tidak perlu, aku akan mencuci selimutnya besok.”

Donghua bangkit dan tetap di kamar itu sejenak. Embusan angin masuk dan mematikan lampunya. Sepertinya ada mantra yang menyelimuti udara.

Gugup, Fengjiu dapat merasakan napas Dijun yang semakin mendekat. Rambutnya sekarang menyentuh pipi Fengjiu, namun tidak ada pergerakan lain. Tampaknya Donghua hanya memeriksa apakah Fengjiu sungguh tertidur atau hanya berpura-pura tidur.

Langkah kaki menjauh dalam kegelapan. Hanya setelah Fengjiu mendengar pintu terbuka kemudian tertutuplah baru Fengjiu menghela napas lega.

Fengjiu berbalik dan membuka matanya untuk memeriksa kamarnya. Kunang-kunang masih bersinar di atas perabotan. Sekarang agak lemah dan tak sehidup biasanya, mereka mungkin mengantuk juga.

Ada sesuatu yang aneh dari Donghua malam ini. Jantung Fengjiu berdebar cepat saat ia memikirkan apa yang baru saja terjadi. Ia mengulurkan tangannya untuk menenangkan dadanya dan mengingat kalau tangannya masih dipenuhi salep bunga itu.

Saat Fengjiu melirik ke tangannya di dalam cahaya berdenyut dari kunang-kunang, ia melihat kalau tangannya sekarang bersih tanpa adanya sisa noda. Donghua pasti telah mengelap mereka sebelum ia pergi.

Merasa bahagia, bibir Fengjiu melengkung sekilas; ia tidak sadar kalau ia sedang tersenyum. Lalu, Fengjiu memejamkan matanya, membisikkan ‘Tranquil Heart Mantra’, dan tertidur lelap.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar