Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 1
Chapter 2 Part 2
Tadinya, Fengjiu telah berencana untuk kemah di luar Aula Qing Yun, tapi A Li terus saja menempelinya sejak pagi. Si buntalan A Li semakin pintar saja belakangan ini.
Saat Fengjiu tiba di Langit ke-36, ia tidak mendengar suara yang mengindikasikan upacara sedang berlangsung.
Fengjiu pikir bahwa upacaranya pasti telah selesai.
Berpura-pura mengusap keringatnya, ia menutupi separuh wajahnya dengan sebuah sapu tangan dan bertanya pada dewa yang berjaga di depan pintu, "Yang Mulia ... apakah ia sedang sendirian di dalam?"
Penjaga itu adalah pria gagap, namun ia adalah pria gagap yang bertanggung jawab.
Ia menghalangi pintu masuk dan bertanya padanya, "Bolehkah hamba ber ... bertanya ... siapa nama Anda?"
Fengjiu menarik sapu tangannya menutupi seluruh wajahnya kali ini, hanya menyisakan bagian dagunya, kemudian menjawab, "Bai Qian dari Qingqiu."
Penjaga itu membungkukkan tubuhnya sopan dan berkata, "Yang Mulia Bai Qian, Donghua Dijun ... me-memang ... sedang ... sendirian di dalam."
Fengjiu menghela napas lega dan berterima kasih padanya selagi berkata: "Aku ingin berbicara secara pribadi dengannya jadi tolong jangan biarkan siapapun masuk. Aku akan bermurah hati menunjukkan rasa terima kasihku setelah ini."
Lalu Fengjiu pun masuk ke gerbang. Penjaga itu tidak berani menghentikannya, tapi ia tidak mengizinkannya masuk dengan sukarela. Ia menggaruk kepalanya frustasi.
"Apa kau sebegitu bahagianya bertemu denganku?"
Fengjiu bertanya sambil memutar tubuhnya.
Setelah berpikir sejenak, ia menambahkan, "Haruskah aku memberikanmu tanda tangan?"
Penjaga itu menggelengkan kepalanya dengan cepat dan berkata, "Donghua Dijun, sendirian ... di ... dalam ..."
Fengjiu mengangguk seraya mengerti setelah terdiam sesaat.
"Apakah ia telah lama menunggu? Kau perhatian sekali. Kalau begitu, aku masuk."
Kemudian ia masuk dengan tergesa.
Ketika punggung Fengjiu menghilang di kejauhan, penjaga itu akhirnya berhasil mengucapkan sisa perkataan yang tersangkut di tenggorokannya, "Sendirian, di dalam, menuju sebuah pertemuan de ... dengan semua orang ... tidak bisa, tidak bisa ... diganggu."
***
Aula Qing Yun di Langit ke-36 adalah satu-satunya tempat di Jiuchongtian yang diselimuti oleh awan berwarna biru langit. Dibangun menggunakan balok turmalin dan tembok kecubung, selalu menjadi bangunan berhias dan luar biasa.
Akan tetapi, eksterior yang diplitur itu bukanlah bagian mengagumkannya. Kelebihan utamanya adalah kualitas kedap suaranya.
Sayangnya, Fengjiu, tidak menyadari hal ini. Ia menguping sejenak, lalu karena tak mendengar suara apa pun, memutuskan bahwa Donghua pasti memang sendirian saja di dalam sana.
Fengjiu diajari sendiri oleh Bai Zhen sejak usianya masih muda bahwa jika ia ingin menagih utang, ia harus memulainya dengan berbasa-basi. Tapi jika hal ini gagal, ia harus berkonsentrasi pada tiga kata mudah ini: cepat, akurat, dan tanpa belas kasihan.
Gelangnya pasti hilang di belakang kediaman Donghua Dijun tapi ia tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa Donghua akan menyangkal klaimnya. Karenanya, jika ia menginginkan gelang itu kembali, Fengjiu harus menjejalkan berbagai fakta miliknya ke kepala Donghua dan membuatnya mengaku di awal.
Fengjiu mengulangi tiga kata 'cepat', 'akurat', dan 'tanpa belas kasihan' lagi, menarik napas cepat dan ... mengangkat kakinya untuk membuka pintu aula. Ketika kakinya sudah terjulur separuh, Fengjiu mendadak mengubah pikirannya. Ia mundur dan memilih menggunakan tangannya.
Suara Fengjiu menjadi satu-satunya suara di dalam aula, kencang dan jelas.
"Malam itu aku kehilangan gelang kekuningan milikku. Mungkinkah ada pada Yang Mu ..."
Perkataannya mendadak tertahan di lidahnya.
Ada orang di Aula Qing Yun.
Bukan hanya orang, namun segerombolan orang.
Mati rasa, Fengjiu menatap dua baris panjang bangsawan yang tengah membungkuk. Mereka semua mengenakan jubah pelajar; sudah jelas mereka tengah dianugerahi berbagai gelar ilahi.
Di bawah tempat duduk kebangsaan ada seorang dewa yang tengah berlutut; di tangannya ada sebuah tablet bambu. Ia baru maju sebelum Donghua membacakan berbagai pencapaian jasanya.
(T/N : 笏 (hu) sebuah tablet yang terbuat dari giok, gading, atau bambu yang dipegang oleh petugas setiap kali mereka menghadiri pertemuan.)
Pada saat ini semua orang telah beralih melihat ke arah Fengjiu dengan ketakutan karena perkataannya yang lancang. Satu-satunya orang yang tidak menunjukkan emosi apa pun adalah orang yang sama yang duduk di singasana emas. Donghua menyandarkan lengannya di sandaran kursi tanpa tertarik sedikit pun. Ia menatap ke arah Fengjiu dari atas sana.
Fengjiu tersentak sejenak.
Ia mendorong pintu aula dan berjuang keras berkata dengan nada tenang: "Maafkan aku. Tidur sambil berjalan ... ceroboh ... tersesat."
Suara Donghua pun terdengar ke telinga Fengjiu dengan tempo yang tak tergesa.
"Gelang itu ... memang tertinggal di tempatku."
Fengjiu jatuh tersandung ambang pintu.
Donghua sengaja mengambil sebuah hiasan rambut berbahan giok putih yang lembut dan indah, lalu berkata santai, "Kau melupakan hiasan rambutmu juga."
Seseorang di aula menelan ludahnya gugup. Fengjiu menjatuhkan diri ke lantai dan berpura-pura mati.
Seluruh aula tenggelam dalam keheningan. Suara Donghua pun terdengar lagi, sangat santai dan lambat.
"Dan ini ada bros bunga yang kau jatuhkan di pemandian air panas."
Ia menjeda, kemudian dengan kepercayaan diri yang natural berkata, "Kemari dan ambillah."
Fengjiu menutupi wajahnya dan menyeret dirinya bangun dari pintu.
Ketakutan, ia membalas, "Aku sungguh tidur sambil berjalan ... benar-benar datang ke tempat yang salah."
Donghua menopang pipinya dan berkata, "Ada juga ..." seraya akan mengeluarkan sesuatu lagi dari lengan pakaiannya.
Fengjiu menghentikan tangisannya dan dengan cepat menghilangkan wajah malangnya dan mengubahnya jadi serius.
"Oh, lihat, aku tiba-tiba saja terbangun. Pikiranku sudah sangat jernih sekarang."
"Mungkin karena aura yang terlalu luar biasa di sini," Fengjiu kemudian menambahkan seolah ia baru saja menyadarinya.
Fengjiu maju dan membungkuk secara seremonial.
"Memang benar aku datang kemari untuk mengambil beberapa benda dari Anda, aku tidak salah tempat. Aku minta maaf karena telah merepotkan Anda untuk menyimpankan mereka."
Fengjiu malu juga segan di saat yang bersamaan.
"Betapa gegabahnya diriku hingga menggangu semua orang. Aku benar-benar minta maaf. Aku akan memperbaikinya di lain hari."
Fengjiu melakukan setiap tindakannya dengan lancar bahkan dirinya sendiri pun tercengang. Donghua masih belum bereaksi. Semua orang mengikuti dan berdiam diri.
Fengjiu menggertakkan giginya lalu menapakkan kaki ke atas podium. Donghua mendongakkan kepala untuk melihat wajah stresnya. Di matanya terpercik sebuah senyum samar yang dengan cepat menghilang secepat datangnya.
Donghua mengulurkan tangan kanannya. Di dalamnya terdapat sebuah gelang kekuningan, hiasan rambut giok putih dan sebuah bros bunga. Entah mengapa Fengjiu tida-tiba kebingungan.
Donghua dengan santai berkata, "Kenapa kau tidak mengambilnya? Atau kau menungguku menyerahkannya langsung padamu?"
Buru-buru Fengjiu mengambilnya, dan dengan gestur yang salah seolah ia tengah menerima sebuah titah penting. Setelahnya, ia bahkan mengingat untuk keluar dengan posisi bungkuk menghormat yang sama.
Sesampainya di depan pintu, segala rasa malu langsung menjalari wajah Fengjiu secepat ia melarikan diri.
Semua orang di Aula Qing Yun tetap berdiri khidmat. Dewa yang tengah berlutut di lantai masih terbengong menatap kepergian bayangan Fengjiu. Beruntung, pelayan tua Donghua tidak teralihkan oleh Fengjiu.
Mencoba membantu si pemuda yang berlutut, ia bertanya, "Kau sedang memberitahu kami perihal pertarunganmu dengan naga laut lima ratus tahun yang lalu. Ketika Putri dari Kerajaan Zhongrong yang kau selamatkan mati-matian ingin menikahimu, kau menolak tawarannya ..."
Ia mencondongkan tubuhnya ke depan dengan gembira dan bertanya, "Lalu setelah itu, apa?"
Donghua meliriknya sekilas dan ia dengan bijak melegakan tenggorokannya mengeluarkan suaranya. "Apa ... yang terjadi setelah itu? Silakan lanjutkan laporanmu ..."
***
Malam itu setelah pertemuan di Aula Qing Yun dibubarkan, seperti tradisi yang selalu diadakan, Tianjun memerintahkan untuk membuat perjamuan makan untuk merayakannya di Taman Sinar Bulan.
Para dewa-dewi muda yang baru datang ke Langit untuk pertama kalinya tentu saja merasa luar biasa akan segala hal yang mereka lihat.
Di bawah sebuah kanopi yang belum begitu berbunga, seorang dewa bertampang pintar berbisik pada yang lainnya, “Kau sudah melihat begitu banyak dewi di Langit hari ini, tapi sudahkah kau melihat salah satu yang berasal dari Kerajaan Qingqiu?”
Kemudian ia pun menambahkan dengan berbisik rahasia, “Kudengar di jadwal kehadiran malam ini ada Gugu dan keponakannya, Fengjiu. Kudengar keduanya terkenal kecantikannya. Sangat cantik, bahkan para dewi di Langit ini pun bukan tandingan mereka.”
Dewa muda yang diajak bicara adalah dewa yang sama yang berlutut di lantai pagi ini. Setelah jasanya ditulis, ia ditunjuk dengan pangkat Zhenren. Menggunakan marganya saat menjadi manusia, ia sekarang dipanggil dengan sebutan Chen Zhenren.
Wajah Chen Zhenren memerah ketika ia menjawab tak berdaya, “Dewi ... yang menerobos masuk ke dalam Aula Qing Yun pagi ini ... apakah ia juga akan berada di sana?”
Dewa yang satunya menutupi mulutnya, terkejut dan balik berbisik, “Aku sudah bertanya kesana kemari, dan sepertinya ia adalah adik angkat Dijun, Putri Zhi’he. Dilihat dari kejadian pagi ini, perasaan Dijun untuk adik angkatnya pasti bukan perasaan biasa.”
Ia kemudian berseru, “Oh, ia sangat cantik. Benar-benar sangat cantik. Bahkan aku yang biasanya tidak terpengaruh akan keinginan duniawi masih menatapnya dengan kagum. Kau pun terpesona, tentu saja, akan tetapi ...” ia menampar bahu Chen Zhenren, “Kau dan aku adalah manusia yang mendapatkan keabadian. Menurut peraturan, bahkan jika Dijun tidak memiliki perasaan apa pun pada adiknya, kita hanya bisa mengaguminya dari kejauhan.”
Chen Zhenren menundukkan kepalanya suram.
Taman Sinar Bulan di Langit ke-32 menggantung lebih tinggi dari bulan itu sendiri. Untuk alasan itulah, cahaya bulan tidak sampai menyinari taman tersebut. Sebagai gantinya, seluruh tempat diterangi seterang siang hari dengan menggantungkan mutiara malam di pepohonan.
Jiuchongtian punya sebuah kebiasaan buruk. Para dewa-dewi berpangkat tinggi selalu datang ke pesta semacam ini tepat waktu, seolah ingin menunjukkan mereka kebanjiran pekerjaan dan tak tahan untuk segera kabur.
Untungnya, Donghu dan Liansong bukanlah bagian dari grup ini. Mereka selalu datang sangat awal atau sangat terlambat, atau mereka tidak muncul sama sekali. Mereka tidak pernah tepat waktu ...
Kali ini, keduanya menganugerahkan semua orang dengan kehadiran mereka meskipun masih tersisa cukup banyak waktu.
Para pelayan muda telah mengatur sebuah meja untuk mereka di belakang sebatang pohon lebat agar tak membuat yang lainnya merasa tidak nyaman dengan aura besar kehadiran mereka.
Ketika Chen Zhenren dan para dewa lainnya sedang berbincang, mereka sedang berdiri di dekat pohon ini. Setiap perkataan mereka telah didengar oleh kedua dewa yang duduk di belakangnya.
Pada saat ini, Donghua sedang membongkar menara Haotian yang baru saja diberikan oleh Liansong. Menara Haotian merupakan sebuah senjata gaib yang dapat menaklukkan segala macam iblis dan setan.
Liansong membawakannya untuk Donghua agar mereka dapat mengutak-atiknya sehingga menara itu juga dapat menaklukkan para dewa. Tujuannya adalah untuk membuat menara itu menjadi peringkat pertama dalam Catatan Senjata Gaib, mengalahkan Jiulihu yang baru dikembangkan oleh Moyuan, menurunkannya satu tingkat.
Pangeran Liansong meletakkan kipasnya agak jauh dan menuangkan anggur untuk mereka berdua.
Sambil tersenyum, ia berkata, “Kudengar kau menggoda Fengjiu di depan semua orang di Aula Qing Yun pagi ini. Coba duduk dan beritahu aku, mengapa pelayan setiamu, Zhonglin harus mencariku guna meminta nasihat perihal bagaimana caranya melindungi kehormatanmu?”
Donghua menatap ke menara di tangannya dan berkata, “Meminta nasihat darimu? Apakah ia masih mengantuk?”
“Aku tidak akan beradu kata denganmu.”
Ketika Liansong selesai meneguk secangkir anggur, ia tiba-tiba teringat akan sesuatu.
“Ada hal penting yang harus kuberitahukan padamu. Aku lupa soal itu saat kita bicara di luar topik.”
Liansong menepukkan kipasnya ke atas cangkir anggur terdekat kemudian melanjutkan.
"Tampaknya ada pergerakan di bagian Selatan dari Klan Iblis.”
Donghua tetap fokus pada menara Haotian yang baru saja dibongkarnya dan bertanya, “Apa yang terjadi?”
Liansong menyandarkan dirinya ke kursi.
Matanya berkedip saat ia membalas perlahan, “Siapa lagi kalau bukan salah satu dari Pemimpin Klan Iblis, Yan Chiwu, apa kau masih mengingatnya? Dia yang datang untuk berduel denganmu karena perjodohanmu dengan putri pertama Klan Iblis.”
Masih dengan sikap acuh tak acuh, Liansong melanjutkan, “Ia menggunakan Giok Pengunci Arwah untuk menjebakmu masuk ke dalam Lingkup Teratai Jahat, membuatmu menderita dan kehilangan muka sejenak di sana, ingat yang itu juga?”
Dengan suka cita, Liansong berkata lagi: “Jika bukan karena seekor bayi rubah muncul entah dari mana untuk menolongmu, mungkin kau sudah kehilangan separuh dari kekuatan hidupmu.”
Kemudian Liansong menyimpulkan semuanya dengan nada penyesalan yang kentara: “Tentu saja kau akhirnya berhasil keluar dari perangkap itu dan memberikan Yan Chiwu pelajaran brutal hingga kedua orang tuanya tak sanggup mengenalinya. Tapi ia masih tetap salah satu Pemimpin Klan Iblis. Aib sebesar itu terlalu besar untuk ditanggungnya. Sekarang ia ingin melakukan tanding ulang agar ia bisa menghapuskan penghinaan yang dulu.”
Mata Donghua sedikit bergerak saat ia berkata kosong, “Aku akan menanti undangannya.”
“Kupikir kau sudah lama pensiun dari urusan duniawi,” kata Liansong dalam keterkejutannya.
“Ataukah kau masih berpikir kalau ia menculik bayi rubahmu?”
Liansong mengernyit.
“Bukankah kau sendiri sudah melakukan perjalanan ke Klan Iblis tiga ratus tahun lalu dan memastikan sendiri kalau bayi rubah itu tidak ada di sana?”
Menghela napasnya, Liansong berkata, “Omong-omong ... dunia ini begitu besar, tidak bisakah kau mencari rubah lain?”
Beberapa waktu berlalu ketika Liansong kembali bertanya saat menyadari sesuatu, “Bukankah Fengjiu dari Qingqiu juga seekor rubah merah? Yah, ia adalah rubah merah berekor sembilan, tapi tetap saja seekor rubah merah ... Jangan bilang karena alasan ini, kau ...”
Donghua menopangkan pipinya ke tangannya dan menatap melewati dedaunan yang lebat.
"Keduanya adalah hal yang sepenuhnya berbeda.”
Mata Donghua tanpa sengaja terhenti pada Fengjiu yang tengah cemberut mengikuti Bai Qian memasuki area taman.
Fengjiu mengenakan gaun putih, rambutnya dihiasi dengan sebuah pita bunga berwarna putih. Ekspresinya dingin. Ketika Fengjiu tidak berbicara, ia tampak cukup halus dan bermartabat.
Bai Qian mempunyai pengelihatan yang buruk akan tetapi mata Fengjiu masih normal. Dengan satu lirikan ia bisa tahu bahwa Donghua sedang duduk bersandar di kursi, mengamatinya dari balik dedaunan.
Fengjiu mundur dan menggelayuti lengan Bai Qian untuk memohon.
“Menjadi seorang janda, aku pikir lebih baik mematuhi tata kesopanan dan tidak memamerkan diriku di tengah-tengah ...”
Bai Qian dengan cepat memotongnya.
“Jadi menurutmu datang dengan bibimu tidak sepantas menolong Zheyan menaklukkan Monster Chiyan untuk Kakak Keempatku hanya untuk menjadikannya seekor tunggangan baru. Jika memang begitu ...”
Fengjiu gemetar dan mencengkeram lengan Bai Qian lebih kuat.
“Beruntung, peraturan untuk para janda tidaklah seketat itu. Ada baiknya untuk keluar kini dan nanti ...”
Ia tergagap sejenak dan berbohong, “Baik untuk kesehatan fisik dan pikiran seseorang.”
Bai Qian tersenyum cerah dan mengangguk, “Kau benar sekali.”
Kedua bangsawan dari Qingqiu itu memasuki taman dengan elegan, satu per satu. Para dewa-dewi baru pun menoleh, terpana menatap kehadiran mereka.
Beruntungnya, pelayan perjamuan makan ini sudah terbiasa melihat kedua wanita cantik ini dan dengan cekatan membawa mereka menuju tempat duduk mereka.
Di belakang pepohonan, Liansong mengetukkan kipasnya ke meja batu dan berkata pada Donghua, “Apa tujuanmu sebenarnya padanya? Apakah kau hanya merasa kalau dia cantik, atau ...”
Donghua berhenti menatap. Seulas senyuman muncul di matanya, dan dengan cepat menghilang.
“Dia memang benar-benar menarik.”
Liansong menggunakan bakatnya sebagai seorang penakluk wanita untuk mengintepretasikan perkataan Donghua, namun setelah nyaris setengah harian, masih juga belum sepenuhnya mengerti.
“Menarik dalam artian ...”
Di saat itulah, seorang petugas yang berdiri dekat takhta di atas mengumumkan: “Yang Mulia Penguasa Langit telah tiba~~~”
Liansong menghela napas dan berdiri, memberi tahu Donghua: “Singkirkan dulu menara Haotian-nya.”
***
Perjamuan makan malam ini di Taman Sinar Bulan adalah makan malam yang hangat. Meskipun demikian, ini juga tidaklah senyaman yang dikira.
Selama berlalunya waktu, tiap Tianjun naik takhta atau turun takhta. Hanya Donghua Dijun yang tetap duduk diam tak berubah di tanah suci Daoist Trinity.
Selama bertahun-tahun, pernah beberapa kali bahkan Tianjun pun dijadikan topik pembicaraan ketika minum-minum, tetapi tak seorang pun pernah mengaitkan Donghua. Ini adalah pertama kalinya ada rumor tentang dirinya.
Kabar itu terbang langsung dari langit pertama hingga ke-36 menuju telinga Tianjun seperti bintang jatuh.
Korban pertama tentu saja adalah Donghua. Yang lainnya, karena semua orang kurang berimajinasi, adalah si malang Putri Zhi’he yang polos.
Akan tetapi, apa pun yang dipikirkan oleh Zhi’he, ia tidak pernah menyanggah setiap kali ada seseorang yang bertanya padanya, malahan hanya menjawab dengan senyum simpul.
Tianjun yang berkuasa pun punya sebuah kebiasaan memandang tinggi dirinya sendiri. Ia pikir ia adalah seorang penguasa yang sangat mengerti rakyatnya.
Cerita yang sangat terkenal adalah bahwa Donghua jatuh cinta pada Putri Zhi’he. Karena ia juga adalah seorang Dewi Langit, Tianjun memutuskan inilah saatnya untuk membawa Zhi’he kembali, sebagai hadiah untuk Donghua.
Saat Tianjun telah mengambil keputusan, ia memutuskan untuk mengumumkannya di acara semi-intim, semi-formal seperti ini selagi Zhi’he belum pergi.
Akan tetapi, Tianjun juga harus menurunkan titahnya dengan cara yang natural agar tak seorang pun mencurigainya, mengutamakan kepentingan Donghua, lalu di saat bersamaan membuat fakta bahwa Donghua sekarang akan berutang satu hal padanya.
Pernah mendengar bahwa Zhi’he adalah seorang penari berbakat, Tianjun akhirnya memutuskan untuk menyuruh delapan belas dewi menari di belakang tarian favorit Zhi’he ‘Bangau di Langit’.
Menjadi gadis yang cerdas, Zhi’he tentu tidak mengecewakan dan membawakan tarian ‘Bangau di Langit’ seolah itu adalah ‘Phoenix di Langit’. Ditambah lagi, bukan hanya ada satu phoenix; ada sekawanan dari mereka, terbang melayang lurus menuju sembilan lapis awan. Semua orang yang berada di bawah panggung terpukau dengan mata yang terbuka lebar.
Saat tarian itu berakhir, Tianjun memimpin dengan bertepuk tangan beberapa kali, dan secepatnya, suara menggelegar dari banyaknya tepukan tangan pun menyusul.
Tianjun melihat ke panggung dan bertanya meskipun telah mengetahui jawabannya, “Apakah yang menari barusan adalah Putri Zhi’he yang dikirim ke Gunung Qilin tiga ratus tahun yang lalu?”
Semua orang langsung setuju.
Tianjun terlihat berpikir sejenak setelahnya berkata, “Aku tidak percaya seorang dewi yang diasingkan bisa begitu berbakat. Aku menganggap tiga ratus tahun penyesalan di dunia manusia tampaknya sudah cukup. Ia boleh kembali ke Jiuchongtian besok.”
Kemudian Tianjun menoleh ke arah Donghua dan berkata, “Donghua Dijun, bagaimana menurutmu?”
Sungguh sebuah akting yang hebat.
Berdiri di panggung, bahan gaun Putri Zhi’he berkibar selayaknya ilusi mimpi ketika ia pun diam-diam melihat ke arah kakak angkatnya.
Donghua lagi-lagi memainkan menara Haotian. Setelah mendengar ini, ia pun melirik sekilas ke arah Zhi’he dan mengangguk.
“Terdengar bagus.”
Di saat bersamaan terdengar suara pecah dari arah diagonal kebun. Ketika semua perhatian mengarah ke sana, cangkir teh porselen milik Fengjiu sudah teronggok di atas meja, pecah jadi empat bagian.
Donghua tertegun. Liansong bersembunyi di balik kipasnya dan menopang dagunya.
“Kau lihat? Ia menghancurkan cangkir itu hanya dengan satu tangan. Cukup menakutkan.”
Fengjiu yakin sekali ketika Donghua berkata, “Terdengar bagus,” bibir Zhi’he menyunggingkan senyum mengejek saat menghadap ke arah Fengjiu.
Fengjiu masih ingat ajaran Ayahnya, Bai Yi: ‘Meskipun kau masih muda, ingatlah akan jabatan dan tanggung jawabmu. Jangan bertengkar dengan orang lain atau membiarkan mereka membuatmu jadi lelucon. Tidak masalah jika kau mencoreng namamu sendiri, tapi jangan pernah biarkan posisimu diremehkan.’
Fengjiu terus mengingat perkataan ini di hatinya selama tiga ratus tahun. Meski di saat yang langka ada seseorang yang mencelanya, ia sungguh melatih dirinya untuk memiliki pikiran yang murah hati.
Tetapi menghadapi Zhi’he kali ini, segala macam sopan-santun tiap hari ini, mati saja sekarang.
Putri kecil dari Istana Taichen ini pernah benar-benar bersalah padanya, menorehkan sebuah luka di hatinya.
0 comments:
Posting Komentar