Sabtu, 07 November 2020

3L3W TPB 2 - Chapter 2 Part 1

Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 2

Chapter 2 Part 1

Fengjiu tidak tahu berapa lama ia tertidur. Walaupun ia selalu merasa samar dan tidak tahu apa pun yang sedang terjadi, kadang kala ia dapat merasakan sesuatu. Ia sedang dipeluk oleh seseorang.

Fengjiu merasa ia mengenal orang yang sedang memeluk dirinya, tetapi untuk beberapa alasan ia tidak dapat memikirkan siapa namanya. Fengjiu dapat menghirup aroma cendana putih di udara; aroma yang familier. Tetapi kefamilieran ini entah mengapa terasa sangat jauh, membuatnya skeptis.

Setelah dipeluk sekian lama, Fengjiu tampaknya jatuh dalam permukaan yang lembut. Merasa nyaman, ia pun rileks di dalam lengan yang sedang memeluknya.

Karena Fengjiu tidak sepenuhnya sadar dan tubuhnya sedang mengalami kesakitan luar biasa nyaris tiap saat, ia merasa sangat lelah. Berbaring seperti ini adalah kesukaannya, sangat nyaman.

Namun, rasa sakit adalah tamu tetapnya. Fengjiu tidak cukup baik dalam menahan rasa sakit. Ia dapat menduga bahwa ia mengeluarkan suara sekali atau dua kali kapan saja ia tidak sanggup menahannya.

Setiap kali rasa sakit mengerikan melewati Fengjiu, selalu ada lengan yang mendekapnya erat, menyuapinya sendok demi sendok sesuatu yang seperti cairan.

Aroma kuat ini seperti darah, tidak terasa enak sama sekali. Tetapi setiap kali cairan itu sampai di tenggorokan Fengjiu, rasa sakitnya berkurang sangat banyak, ia menganggap ini pastilah barang bagus.

Ketika Fengjiu tersedak, seseorang perlahan menepuk punggungnya. Ketika ia gelisah, seseorang menggenggam tangannya. Ketika ia merintih, ia memeluk Fengjiu dengan erat.

Jadi, Fengjiu terus merintih, meskipun tidak terjadi masalah; ia terus merintih kapan saja ia ingat.

Di saat pikirannya mulai menemukan kesadaran, Fengjiu mencoba untuk memastikan identitas dari orang yang merawatnya. Perhatiannya begitu lembut, dan Fengjiu merasa orang ini cukup berpengalaman. Namun, semakin ia mencoba berpikir, semakin pikirannya berkabut.

Waktu berjalan seperti aliran air, tak bersuara, terus-menerus. Dalam pikiran kacau balaunya, mata Fengjiu samar-samar melewati beberapa wajah yang familier. Pada akhirnya mereka berhenti pada seorang janda yang berpakaian serta bergerak dengan begitu anggunnya.

Wanita ini adalah ibu dari ibunya, nenek kandungnya, Tetua Fumi. Kepala Fengjiu mulai sakit.

Pada saat ini, Nenek sedang duduk di aula ruang tamu keluarganya, berbicara dengan Ibunya tentang suatu hal.

Walaupun Lady Fumi tampak cukup ramah, ia sebenarnya adalah seorang dewi tetua yang sangat menakutkan. Tujuan hidupnya adalah untuk menikahkan semua putrinya dengan pria hebat.

Dengan perhitungannya yang teliti, ketujuh putrinya memang menemukan pasangan yang hebat. Tak diragukan lagi, Lady Fumi memang tulang punggung keluarga. Namun, setelah menikahkan semua putrinya, ia mulai merasakan kesepian dalam hidup.

Fumi merasa kosong selama dua ribu tahun hingga suatu hari ayah Fengjiu membawa keluarganya kembali untuk berkunjung di hari ulang tahun Kakeknya.

Ayah Fengjiu membawa Fengjiu untuk menghadiahkan Lady Fumi teh. Nenek tua Fengjiu yang sedang dalam masa kosong di musim dinginnya begitu gembira mengetahui bahwa cucu perempuan tertuanya, Fengjiu sekarang telah berusia lebih dari 30.000 tahun. Usia yang matang untuk mulai mencarikannya seorang suami.

Nenek tua Fengjiu telah menemukan tujuan baru dalam hidup, dan sejak hari itu, ia memberi kehormatan di rumah putri tertuanya sebagai tamu tetap. 

Fengjiu bersembunyi di luar kebun kecil dan berusaha keras mendengarkan apa yang sedang diberitahukan nenek pada ibunya.

Fengjiu mendengar Neneknya berkata: “Alasan mengapa aku merencanakan pernikahan Jiu-er secepat ini adalah agar ia dapat membuat pilihan yang bagus. Dengan wajah dan karakter Jiu-er, ia harus menikah dengan sebuah keluarga yang mapan. Meski demikian, tidak semua orang yang berasal dari keluarga mapan itu cakap.

"Contohnya saja, terakhir kali adik ipar keduamu merekomendasikan putra bungsu Dewa Air Laut Selatan. Ia memang punya wajah yang tampan dan latar belakang yang bergengsi, tetapi ia tidak memiliki gelar yang asli, sayang sekali. Kurasa, seorang pria yang pantas untuk Jiu-er, ia juga harus memiliki kekuasaan di samping latar belakang yang bergengsi, hanya dengan begitulah ia punya potensi.

"Terlebih lagi, aku tidak terlalu menyukai jenderal. Ambil ipar keempatmu sebagai contohnya. Ia mungkin memegang posisi yang tinggi, tetapi pernikahannya selalu membuatku sakit karena cemas. Jika ia tidak membuat dirinya kelaparan karena merindukan si jenderal itu dulu, mana mungkin aku menyerahkan anak sebaik itu pada orang yang kasar.

"Apa bagusnya seorang jenderal? Bertarung dan membunuh setiap waktu, tidak pernah tahu bagaimana jadi lembut dan baik. Sebagai ibu Jiu-er, kau tidak boleh membuat kesalahan yang sama sepertiku. Jika ada seorang prajurit yang berteman dengan Jiu-er, kau harus berhati-hati. Ada hal tambahan penting lainnya. Jodohnya harus yang sepadan. Lihat betapa cantiknya Jiu-er kita, kita harus mencarikannya seseorang yang tampan, agar aku dapat memiliki cicit yang cantik.

"Kalau tidak, kita akan menghancurkan reputasi dari rubah merah bersama dengan reputasi rubah putih berekor sembilan. Aku baru memikirkannya sejauh ini, biarkan aku kembali dan memikirkan lagi detail lainnya.”

Ibu Fengjiu memuji neneknya karena memikirkan segalanya tidak tanggung-tanggung; sekarang mereka pasti akan mencarikan Fengjiu pernikahan yang terbaik menurut keinginan neneknya; ibunya berharap neneknya tidak terlalu khawatir, dan selanjutnya, dan selanjutnya.

Setelah mendengarkan percakapan mereka, hati Fengjiu langsung terbebani berat. Ia meninggalkan kebun kecil itu dengan langkah yang tak pasti. Di sepanjang jalannya, kepala Fengjiu terasa gelap dan seberat gunung.

***

Meskipun Donghua Dijun, yang disukai Fengjiu, membangun warisannya dari dua tangan kosong dan mendapatkan status yang tinggi, Donghua tidak berasal dari keluarga yang mapan. 

Neneknya pasti tidak akan senang dengan ini.

Walaupun Dijun memiliki kekuasaan di masa lalu, Donghua telah pensiun ke Istana Taichen dan tidak lagi memiliki kekuasaan asli belakangan ini. 

Neneknya pasti lebih tidak menyukainya lagi.

Kegagahan Donghua di medan perang tercatat dalam sejarah untuk dipuja oleh generasi berikutnya. Ia sudah pasti jauh lebih baik ketimbang paman ipar keempatnya. 

Neneknya pasti paling tidak menyukai itu di antara semuanya.

Selain wajah tampan Dijun, tidak ada satu pun yang disukai oleh nenek Fengjiu tentangnya. Apa yang harus ia lakukan?

Dedaunan kuning melayang di luar beranda, angin musim gugur, pepohonan di musim gugur, semuanya tentang musim ini penuh dengan kesedihan. Hati Fengjiu tenggelam dalam kesedihan.

Fengjiu berjongkok di beranda, melamun. Sepertinya tidak mungkin jika ia meminta ayahnya mengirimkan seseorang ke Istana Taichen untuk menawarkan perjodohan. Ia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri dalam mengejar Donghua Dijun.

***

Di saat ini, adegan lainnya muncul. Bukan hanya sekali Fengjiu merasa ini adalah sebuah mimpi yang pernah dimimpikannya. Malahan, berganti adegan terasa begitu biasa bagi Fengjiu. Tetapi, ia dapat merasakan samar bahwa itu merupakan sesuatu yang sudah pernah terjadi di masa lalu yang agak jauh.

Meski demikian, Fengjiu hampir melupakan bahwa ini merupakan alasannya meminta Siming membawanya masuk ke dalam Istana Taichen tahun itu.

Jika bukan karena fakta bahwa Donghua tidak sesuai dengan kriteria keluarganya, jika Fengjiu memberitahu keluarganya soal perasaannya dan meminta ayahnya mengirimkan seseorang ke Istana Taichen untuk perjodohan, maka akan seperti apakah kisah mereka hari ini?

Ketika kata ‘hari ini’ melewati pikiran Fengjiu, ia mendadak merasa aneh. Hari ini, hari ini. Ia merasa kalau ia tidak terlalu senang dengan hari ini. Tetapi, apa yang terjadi hari ini? Hari apakah hari ini tepatnya?

Fengjiu menatap sekitar dengan kebingungan. Ia tengah berada di atas ranjang pernikahan, mengenakan sebuah gaun pengantin merah. Lilin pernikahan yang berkelap-kelip, cahaya bulan yang redup, cicitan serangga yang tiada hentinya.

Oh, hari ini merupakan hari pernikahan Fengjiu dengan Cang’yi Shenjun. Ayah Fengjiu mencari dari atas hingga ke bawah, dan akhirnya memilih Cang’yi Shenjun dari Gunung Zhiyue sebagai suami Fengjiu.

Fengjiu ingat, tentu saja ia tidak senang dengan mempelai pria pilihan ayahnya untuk dirinya. Sebelum naik ke tandu pengantin di depan rumah mereka, Fengjiu masih beradu mulut dengan Ayahnya, berkata bahwa jika ayahnya begitu menyukai Cang’yi Shenjun, ia yang seharusnya naik ke tandu itu sendiri, tidak perlu Fengjiu yang menikahi Cang’yi.

Apa yang dikatakan Fengjiu membuat ayahnya begitu murka hingga ia langsung mengikat Fengjiu dengan tali ajaib dan melemparkannya ke dalam tandu.

Namun, hanya dalam sedetik, entah bagaimana sekarang Fengjiu ada di atas ranjang pernikahan Cang’yi. Ia samar-samar merasa terjadi sesuatu yang menarik sepanjang perjalanan dari Qingqiu hingga ke Gunung Zhiyue, tetapi bagaimana bisa seolah bagian tengahnya terpotong begitu saja?

Untuk pertama kalinya, Fengjiu merasakan ia sedang berada dalam sebuah mimpi. Tetapi, segalanya terasa begitu nyata hingga ia tidak yakin. 

Dalam cahaya lilin yang bergoyang, Fengjiu mendadak mendengar suara seorang pelayan kecil mengumumkan dari luar: “Shenjun telah tiba.”

Malam ini adalah malam pernikahan dan jam pelaksanaan malam pertama sudah makin dekat. Shenjun yang mereka maksudkan pastilah Cang’yi. Fengjiu kaget. Ia bahkan tidak dapat mengingat kalau ia telah melalui upacara pernikahan dengan Cang’yi, tetapi sekarang mereka akan segera melaksanakan malam pertama?

Ketakutan, Fengjiu mengambil tusuk rambut emas dari rambutnya, refleks memejamkan matanya, dan berpura-pura tidur. Ia berpikir sendiri kalau tusuk rambut itu begitu tajam. Jika Cang’yi melangkah mendekatinya, ia akan membuat darah merah Cang’yi mewarnai ranjang pernikahannya malam ini.

Fengjiu merasa kebingungan sesaat. Dalam ingatannya, kenapa hal ini tidak benar-benar terjadi di malam ia datang ke Istana Zhiyue?

Kenapa Fengjiu mengingat bahwa sebelum mereka melakukan upacara pernikahan, ia sudah lebih dahulu menghancurkan istana Cang’yi? Atau, mungkin, mungkin saja, Fengjiu hanya sedang bermimpi?

Fengjiu menjadi sedikit lebih tenang. Entah ini sebuah mimpi atau bukan, semenjak ia memang tidak menyukai Cang’yi Shenjun ini, dan dirinya memiliki integritas yang tinggi, ia tidak akan membiarkannya mengambil keuntungan sedikit pun darinya bahkan di dalam mimpi.

Saat Fengjiu merasakan Shenjun telah berada di dekatnya, ia membuka matanya sedikit, tangannya sudah siap dengan tusuk rambut menunggu untuk melindungi kesucian pemiliknya.

Tetapi, tusukan itu hanya lewat di tangannya ketika, cling, tusuk rambut itu jatuh lagi ke dalam tumpukan selimut. Fengjiu menatap tidak percaya pada orang yang tengah mendekatinya. Ia berkedip kebingungan.

Orang yang sedang mendekatinya bukanlah Cang’yi, tetapi orang yang disebutkan sebelumnya, Donghua Dijun.

Di bawah cahaya bulan, rambut perak Donghua terlihat seputih salju, jubah ungunya bersinar mengikuti pergerakannya, dan wajah yang muncul adalah yang selalu disebut sebagai Muka Es oleh Xiao Yan.

Orang yang sedang berdiri di samping ranjang adalah sang Raja sendiri. Ketika Dijun melihat Fengjiu membuka matanya, ia dibuat tertegun selama beberapa saat, kemudian Donghua menyentuh kening Fengjiu. Setelah selesai memeriksa, Donghua tidak menarik tangannya.

Donghua menatap Fengjiu agak lama sebelum bertanya: “Kau sudah bangun? Apa kau merasa tidak nyaman?”

Fengjiu menatap Dijun tanpa kata, dengan bodohnya merenung sejenak, dan kemudian akhirnya mengangkat tangannya mengisyaratkan Donghua untuk mendekat.

Dijun mengerti gestur Fengjiu dan duduk di pinggir ranjang, tubuhnya sedikit dicondongkan ke arah Fengjiu. Dari jarak ini, tanganny dapat meraih kerah jubah Donghua, tetapi tujuannya bukanlah kerah Dijun.

Baru beberapa waktu yang lalu, seluruh tubuh Fengjiu lemas tak bertenaga. Hanya untuk menyandarkan dirinya tegak saja sudah merupakan hal yang sulit dilakukan, tetapi dengan ketinggian ini, semuanya jadi jauh lebih mudah.

Dijun mengamati Fengjiu saksama, helaian peraknya jatuh di atas bahunya. 

Ia bertanya pada Fengjiu dengan suara yang rendah: “Apakah kau merasa tidak nyaman? Di bagian mana yang terasa tidak nyaman?”

Fengjiu tidak merasakan ketidaknyamanan. Selagi Dijun menanyakan pertanyaan itu, ia dengan cepat mengulurkan tangannya dan menggunakan seluruh tenaganya untuk menarik kerah jubah Donghua, kemudian ia menempelkan bibir merah mudanya tepat di atas bibir Dijun ...

Rentetan kejadian ini: tarikan, sentakan, seretan, ciuman, mengejutkan Dijun hingga dalam keadaan tercengang. 

Fengjiu menjepitkan tangannya di sekitar leher Donghua, bibirnya dengan kuat menempel pada bibir Donghua.

Fengjiu berpikir sendiri bahwa baru beberapa saat yang lalu, ia sudah curiga ini adalah sebuah mimpi, tepat di saat Cang’yi Shenjun berubah menjadi Donghua.

Hal ini membuktikan bahwa ini memang hanyalah sebuah mimpi. Ini terus berubah karena berusaha memenuhi sebuah impian yang belum selesai.

Tahun itu, ketika Fengjiu meninggalkan Jiuchongtian, satu-satunya penyesalan yang ia punya adalah bahwa ia telah memberikan cintanya pada orang yang salah dan tidak pernah mendapatkan balasan apa pun; sebuah hal yang memalukan bagi Qingqiu.

Karena mereka dapat bertemu kembali satu sama lainnya di dalam sebuah mimpi, dan mimpi dapat berubah tiap menitnya, apa yang harus dilakukan Fengjiu jika Donghua menghilang darinya di detik berikutnya?

Fengjiu harus memanfaatkan kesempatan ini untuk mencium Donghua. Kesempatan macam ini tidak datang dua kali. Tidak buruk juga jika ia dapat membalas dendam meskipun hanya dalam mimpinya.

Bibir Donghua sedingin yang dibayangkan oleh Fengjiu. Mereka tidak bergerak bahkan ketika ia menekannya kuat, seolah Donghua sedang penasaran, menunggu untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh Fengjiu setelahnya.

Fengjiu merasa puas dengan penampilan ini. Ia sedang mengambil keuntungan dari Donghua—ia harus duduk di sana seperti patung. Akan lebih baik jika setelahnya wajah Donghua memerah karena rasa malu akibat telah dimanfaatkan.

Setelah melekatkan bibir mereka cukup lama, dengan canggung Fengjiu menempelkan lidahnya untuk merasakan bibir atas Donghua dan dapat merasakan bahwa Dijun sedikit gemetar.

Reaksi ini sesuai dengan perhitungan Fengjiu; rasa kepuasan pun menyebar dalam dirinya seperti sedang menonton pohon merambat yang perlahan memanjat ke atas, atau mendengarkan tetesan embun mengalir turun dari daun teratai.

Fengjiu melepaskan Donghua setelah beberapa kali jilatan, merasa tidak terlalu buruk karena ia telah memanfaatkan Donghua hingga titik ini. Lagipula, Fengjiu tidak terlalu berpengalaman, ia tidak benar-benar tahu bagaimana lagi caranya memanfaatkan Donghua.

Mata Dijun sedikit keruh, ekspresinya diam saja. Tampaknya bahkan jika Gunung Tai runtuh di sekitar mereka, Dijun khayalan ini masih tetap setenang Dijun yang asli.

Fengjiu sedikit kecewa karena Dijun tidak kelihatan malu. Tapi tidak apa, lagipula, Donghua memang selalu tebal muka. Tangan Fengjiu yang bergantung di leher Dijun bergerak ke atas untuk menyentuh wajahnya lembut.

Akhirnya merasa puas, Fengjiu kembali berbaring di atas bantal ketika ia ditahan oleh sebuah kekuatan yang kuat. Ia tidak menyadari apa yang terjadi ketika Dijun sudah menjulang mendekati wajahnya.

Perhiasan indigo di kening Donghua mengeluarkan penerangan seterang bintang pagi, mencerminkan wajah tercengang Fengjiu dengan mudahnya.

Donghua hanya satu inci jauhnya dari hidung Fengjiu. Dijun memandangi Fengjiu sejenak, lalu dengan sangat alaminya, membungkuk dan menyentuh bibir Fengjiu dengan bibir dingin miliknya.

Fengjiu yang linglung mendengar sebuah senar putus di dalam kepalanya. Donghua mengamatinya dengan mata dalam dan gelapnya. Melihat bulu mata Fengjiu berkibas, Donghua tanpa tergesa memperdalam ciumannya, merayu bibirnya untuk terbuka, dengan mudahnya menemukan lidahnya, dan menuntunnya untuk membalas ciuman Donghua dengan kikuk. Dijun terus membuka matanya selama ini untuk mengamati reaksi Fengjiu.

Kenyataannya, selain melebarkan matanya pada Donghua, Fengjiu tidak punya reaksi lainnya. Otaknya berubah jadi bubur karena ciuman ini. 

Gumpalan bubur ini berpikir samar pada dirinya sendiri: dibandingkan dengan ciuman mendebarkan yang Fengjiu mulai, jika dibandingkan, ciuman Donghua begitu brutal.

Dijun memanglah seorang dewa yang tidak pernah ingin kalah. Ia selalu berada di level yang sangat berbeda untuk pembalasan dendam bahkan pada satu penghinaan yang sangat amat kecil.

Fengjiu menahan napasnya terlalu lama dan tidak sanggup bernapas lagi. Ia ingin mendorong Dijun menjauh tetapi tangannya telah berubah menjadi jeli yang tak bertenaga. Pikirannya begitu kacau hari ini hingga ia tidak kepikiran untuk berubah ke wujud aslinya agar dapat kabur dari situasi ini.

Dijun sedikit melonggarkan pegangannya, bibirnya masih menempel di bibir Fengjiu. 

“Kenapa kau menahan napasmu?” ia bertanya dengan gaya yang santai.

“Apakah aku juga harus mengajarimu bagaimana caranya bernapas dalam urusan semacam ini?” 

Tetapi ada setitik keparauan dalam suara Donghua.

Menjadi Ratu Qingqiu, ada satu hal yang selalu dipatuhi oleh Fengjiu, dan itu adalah untuk selalu menjaga muka Qingqiu setiap saat. Tidak peduli apa pun yang terjadi, ia tidak boleh membiarkan nama Qingqiu ternoda.

Apa yang dikatakan Donghua sangat menyakiti kebanggaannya. 

Fengjiu mendadak mendapatkan kembali semangatnya dan dengat tidak masuk akalnya membalas: “Inilah cara orang Qingqiu bereaksi di saat begini. Aku tidak butuh seorang yang tidak tahu apa-apa sepertimu untuk mengkritiku!”

Ketika hal semacam ini terjadi, apa yang sebernarnya menjadi kebiasaan Qingqiu-nya? Fengjiu baru berusia 30.000 tahun, ia hanyalah seekor bayi rubah. Tentu saja Fengjiu tidak pernah punya kesempatan untuk menyaksikan ataupun sungguh-sungguh memahami mereka.

Fengjiu baru mengetahui hari ini untuk pertama kalinya, bahwa bukan hanya bibir yang digunakan untuk berciuman, tetapi bahwa lidah pun dapat digunakan.

Fengjiu selalu mengira kalau berciuman hanya melibatkan bibir bersentuhan dan tidak ada yang lainnya, dan bahwa semakin cinta, maka mereka harus semakin lama menempel.

Sebagai contohnya, Fengjiu telah menekankan bibirnya pada Dijun begitu lama, cintanya pada Donghua pasti telah mencapai dalamnya samudra. Ternyata ada begitu banyak wilayah abu-abu diantaranya yang tidak diketahui oleh Fengjiu, ada begitu banyak hal yang perlu dipelajari olehnya.

Meski demikian, bahkan jika Fengjiu, sebagai orang asli Qingqiu, tidak tahu soal kebiasaan ini, bagaimana mungkin Dijun jauh lebih tahu? Fengjiu menduga, hal ini merupakan ide bagus untuk menipu Dijun dengan alasan demikian.

Tidak mendengar balasan dari Dijun, Fengjiu menambahkan: “Bukankah kau bernapas barusan ini?”

Ekspresi Fengjiu berubah serius. 

“Ini hal tabu di Qingqiu. Adik serigala abu-abu yang tinggal di sebelah rumah kami kehilangan tunangannya karena ini. Orang-orang meremehkan hal semacam ini.”

Setelah mendengarkan Fengjiu, Donghua tampaknya memang merenung. Ia memuji dirinya sendiri karena mengarang omong kosong ini begitu baiknya. Sangat hebat, Xiao Feng.

Tetapi, Xiao Feng secara tak sengaja melupakan satu hal: terkadang, Dijun adalah seorang dewa dengan rasa penasaran yang luar biasa besar.

Tentu saja, rasa penasaran Dijun membuatnya berpikir sejenak sebelum menawarkan kesimpulan ini: “Menarik sekali adat istiadat ini. Karena aku belum pernah mencobanya, bukan ide yang buruk untuk mencoba adat Qingqiu-mu sekarang.”

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar