Sabtu, 07 November 2020

3L3W TPB 2 - Chapter 3 Part 2

Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 2

Chapter 3 Part 2

Si cantik menatap emas di genggamannya dan terlihat terkejut. 

Fengjiu menyatukan tangannya dan berkata, “Karena barusan aku sedang terburu-buru, aku menabrakmu dan membuatmu terluka. Aku tidak punya apa pun selain benda kurang sopan ini, kuharap kau akan menerima mereka sebagai biaya berobat ke tabib. Jika kau menerimanya, maka mohon maafkanlah aku. Jika kau tidak menyukai emas," ia mengeluarkan sebuah dompet gemuk dan melanjutkan dengan tulus, “Aku juga punya perak, mutiara, permata, dan mutiara bersinar. Mana yang kau suka, Nona? Silakan, jangan ragu untuk memilihnya!”

Setelah Fengjiu selesai dengan serentetan permintaan maaf cantiknya, si gadis muda masih tidak menjawab, tetapi pria berjubah hitam dengan lembut memanggil Fengjiu, “Yang Mulia.”

Hujan lebat mendadak turun di luar jendela, suaranya terdengar seperti mutiara yang berhamburan. Fengjiu dengan kosong memutar kepalanya.

Layaknya air terjun putih mengalir ke bawah atap, air hujan terus tumpah dari langit. Di hadapan air terjun ini adalah pria tinggi, rambutnya segelap tinta, roman wajahnya seperti goresan lukisan. Matanya, saat seseorang menatapnya, tampak menghantarkan dinginnya salju di akhir musim dingin.

Apakah pria ini baru saja memanggil Fengjiu ... ‘Yang Mulia’?

Sebuah ledakan meledak di kepala Fengjiu. Si pria dingin berjubah hitam pastilah salah satu kenalan Aranya. Suatu kesalahan untuk bepergian tanpa pelayannya hari ini.

Biasanya ketika Fengjiu bertemu dengan kenalan-kenalan Aranya, para pelayannya akan membantunya mengulur sedikit waktu. Setelah satu atau dua kata, ia akan mampu mengenali identitas tamunya.

Tetapi situasi hari ini ... tampaknya Fengjiu harus menggunakan jalan terakhirnya: berpura-pura tidak tahu.

Fengjiu berpura-pura kebingungan dan berkata pada si pemuda, “Beberapa orang juga menyapaku dengan sebutan ‘Yang Mulia’ barusan ini. Apakah kau juga salah mengenaliku seperti yang lainnya?”

Mata tenang sang pemuda mendadak menggelap, tatapan tajamnya menempel pada Fengjiu. 

Akhirnya, ia menjawab perlahan, “Apa kau tidak ingat padaku?”

Tatapannya membuat Fengjiu merinding. Pria ini terlihat seolah ia sudah mengetahui kebohongannya.

Fengjiu bergidik dan mencoba menenangkan dirinya. Ada begitu banyak orang yang mirip satu dengan yang lainnya di dunia ini. Bagaimana mungkin ia tahu apakah pria ini mempercayai perkataannya atau tidak? 

Mungkin saja ia menggunakan ekspresi semacam ini untuk menipu Fengjiu, ia tidak boleh goyah.

Fengjiu mendapatkan kembali ketenangannya, menatap si pemuda dan dengan tegas menjelaskan: “Bukan masalah aku mengingatmu atau tidak. Aku tidak pernah bertemu denganmu dan aku bukanlah putri yang kau bicarakan ...”

Fengjiu belum selesai ketika pria itu memutus omongannya. 

Masih dengan tatapan yang mantap, ia berkata dingin, “Aku adalah Chen Ye.”

Bagaimana bisa ia begitu keras kepala setelah semua yang Fengjiu katakan? 

Fengjiu berpura-pura marah: “Aku tidak peduli apakah kau adalah Fu Ye atau Chen Ye (Fu=mengambang, Chen=tenggelam).”

Walaupun begitu, jantung Fengjiu mendadak serasa berhenti—Chen Ye. Ini merupakan sebuah nama terkenal baginya, kedua setelah Aranya. 

Menurut legenda mengenai Aranya, lebih dari separuhnya berkaitan dengan nama ini. Ternyata orang yang sedang berdiri di hadapan Fengjiu adalah Archmage Chen Ye.

Kalau yang sedang berdiri di depan mata Fengjiu adalah Chen Ye, semakin banyak mereka berbicara, bisa makin kacau. Di saat begini, kabur secepatnya adalah kebijakan terbaik.

Berpikir di atas kakinya, Fengjiu mempertahankan kemarahannya yang meledak dan berkata galak, “Kalau aku bilang aku tidak mengenalmu, maka aku tidak mengenalmu. Aku harus pergi untuk urusan penting. Minggir!”

Pemuda itu tampak sedikit terguncang, tetapi tidak menghentikan Fengjiu. Ia malah minggir dan membiarkan Fengjiu lewat. Jantung Fengjiu berdebar selagi ia mengikuti arah koridor dan meninggalkan restoran.

Ketika Fengjiu melirik kembali melalui payungnya, si Archmage berjubah hitam tetap berdiri diam di pintu masuk restoran, melihat ke arahnya, tak bergerak dan mengakar seperti sebatang pohon pinus yang kokoh.

Saat Chen Ye melihat Fengjiu berbalik, rasa sakit tampak muncul di matanya. 

Fengjiu mengusap matanya, dan langsung saja, seolah tak terdapat apa pun di sana.

***

Dewa air tampaknya ketiduran semalam dan lupa menghentikan hujannya. Air tak berakar itu tak hentinya tumpah dari langit. Fengjiu melamun, bersandar di susuran tangga.

Fengjiu mengingat kisah yang didengarnya dan kelihatannya Aranya serta Chen Ye memang memiliki hubungan yang rumit.

Sementara apa sebenarnya hubungannya, hari itu Fengjiu tidak cukup banyak bergosip untuk mengetahuinya, dan tidak memaksa Meng Shao untuk menjelaskan lebih rinci.

Syukurlah Fengjiu cukup cepat tanggap untuk melewati hari, tetapi jika Chen Ye memang sungguh teman baik Aranya ... antara ia akan bereinkarnasi atau direbus.

Jika Fengjiu akan bertemu beberapa kali lagi dengannya, bukankah hanya menunggu waktu hingga Chen Ye menyadari bahwa Fengjiu adalah palsu? Terlebih lagi, ia menancapkan paku besar pada Chen Ye di hadapan banyak orang hari ini.

Tak peduli apakah ada keraguan dalam benak Chen Ye atau tidak, ia mungkin saja mengunjungi istananya besok untuk menyelidiki ini dan itu. Pada saat itu ...

Fengjiu tersentak dan segera memanggil pelayan pribadinya, Chacha, untuk datang. 

Fengjiu mengerutkan dahi selagi ia memberikan perintah: “Jika Yang Mulia Chen Ye, Archmage Kerajaan datang untuk menyelidiki kemana aku pergi hari ini, katakan padanya bahwa aku menghabiskan sepanjang hari di dalam istana.”

Chacha bengong setengah harian kemudian mendadak bertanya gugup: “Yang Mulia Chen Ye dengan Anda tidak pernah dekat. Jika beliau sampai menyelidiki urusan Anda kali ini, mungkinkah, mungkinkah Anda telah menyebabkan musibah ...?”

Saat Chacha tiba di kata ‘musibah’, ia hanya bisa menggigil.

Fengjiu mengabaikan Chacha yang menggigil dan bertanya kaget: “Apakah maksudmu Chen Ye dan aku bukanlah teman?”

Aneh sekali, Fengjiu tidak berpikir kalau tampang yang diberikan Chen Ye padanya di Zuilixian pagi ini adalah raut wajah yang digunakan untuk orang asing.

Setelah beberapa lama terdiam merenung, Chacha menjawab muram, “Apakah Anda sedang membicarakan soal persahabatan kalian semasa kecil?”

Chacha jadi jengkel: “Saat Anda masih kecil, Anda mengingat bahwa Yang Mulia Chen Ye merupakan sepupu Anda dan mengambil inisiatif untuk menghadiri acara ulang tahunnya. Tetapi ia mendengarkan hasutan Putri Pertama dan Putri Ketiga bahwa Anda menjijikkan dan membuang hadiah dari Anda. Setelah itu, bukankah Anda berhenti datang ke ulang tahunnya dan tidak pernah berhubungan lagi dengannya?”

Dengan mata memerah, Chacha melanjutkan: “Putri, Anda begitu baik hati masih menganggap hal semacam itu sebagai persahabatan, tetapi menurut hamba, Yang Mulia Chen Ye tidak pantas mendapatkan persahabatan dari Anda.”

Fengjiu melamun sesaat. Hanya satu kata yang diperlukan baginya untuk melihat Chacha merupakan seorang pelayan setia yang melayani Aranya dengan segenap hatinya.

Aranya tidak pernah akur dengan kakak tiri dan adik kandungnya, Fengjiu tahu soal ini.

Pemuda pemegang jabatan Archmage bernama Chen Ye adalah keponakan ibunya, jadi ia masih bisa dianggap sebagai sepupu Aranya, Fengjiu juga tahu soal ini.

Di antara ketiga putri, Putri sulung, Junuo yang paling dicintai ibu mereka, putri bungsu Changdi paling dicintai ayah mereka, dan Aranya sebagai bayi yang baru dilahirkan, dilemparkan ke dalam sarang ular untuk dibesarkan.

Aranya tidak dekat dengan ayah maupun dicintai oleh ibunya. Di antara ketiga bersaudara, Aranya merupakan yang paling tidak beruntung. 

Ini, Fengjiu juga tahu.

Tetapi mengenai Chen Ye, Fengjiu selalu beranggapan bahwa ia dan Aranya berada di kapal yang sama.

Setelah menghabiskan waktu setengah harian untuk merenung, ternyata Chen Ye dan sepasang saudari Aranya merupakan pasangan kekasih di masa kecil. 

Ini, Fengjiu tidak mengerti.

Semua ini sangat aneh.

***

Setelah berpikir semalaman, Fengjiu masih gagal memahaminya. Ketika ia melihat sinar matahari menyingsing di luar, ia menguap dan pergi tidur.

Ketika Fengjiu terbangun dari tidurnya, ia melihat Chacha mengangkat roknya seraya masuk ke kamar. Fengjiu mendesah pada diri sendiri bahwa ia cukup pandai meramal.

Fengjiu mengulurkan tangan untuk mengambil teh dingin, kemudian selagi meminumnya, ia bertanya pada Chacha: “Jadi, apa yang ditanyakan Chen Ye ketika ia datang hari ini?”

Chacha dengan senang menggelengkan kepalanya: “Yang Mulia Chen Ye tidak mampir hari ini, tetapi hamba kemari untuk menyampaikan sebuah kabar mengejutkan yang hamba yakin, Anda akan sangat senang mendengarnya.”

Chacha melanjutkan sambil bersorak kegirangan: “Guru Anda sudah kembali! Tuan Mo sudah kembali! Ia sedang menunggu Anda di aula tamu!”

Teh dalam mulut Fengjiu langsung tersembur mengenai wajah Chacha. 

Chacha mengelap teh dari wajahnya dan berkata: “Yang Mulia pasti sangat terkejut. Ketika ia pergi, Tuan Mo dengan jelas mengatakan ia akan kembali dalam waktu setengah tahun. Baru sebulan semenjak itu, bahkan hamba sendiri terkejut.”

Fengjiu terkejut, tentu saja. Ketika ia berhasil menguasai diri, ia merasa telah menelan delapan cetakan gelas berdarah hari ini. Jika ia ingin membicarakan soal cetakan ini, maka ia harus membicarakan perihal latar belakang Aranya.

Aranya adalah seorang anak yang tidak mendapatkan perhatian dari ayah maupun cinta dari sang ibu. Jadi meskipun Fengjiu mengambil alih tubuh Aranya, kedua relasi terdekatnya tidak akan pernah menyadarinya. Ia merasa cukup tenang selama beberapa saat ini.

Namun, selain orang tuanya, ada satu lagi kehadiran yang familier dalam hidup Aranya—itu adalah gurunya.

Tahun itu, ibu Aranya dengan kejamnya melemparkan Aranya masuk ke sarang ular. Terima kasih pada bintang keberuntungannya, Aranya tidak ditelan bulat-bulat oleh para ular piton, tetapi malah dibesarkan sebagai bayi ular.

Aranya di masa itu tidak memiliki penampilan layaknya manusia meskipun ‘dibesarkan’. 

Suatu hari, gurunya lewat dan mengasihani anak itu. Ia mengeluarkan Aranya dan membawanya di bawah sayapnya.

Setiap perkataan, tindakan, dan gerakan Aranya diajarkan dengan hati-hati oleh gurunya. Pada saat ini, guru ini, yang seharusnya sedang dalam  perjalanan, entah mengapa malah kembali lebih cepat.

Bukankah ini yang disebut meminum cetakan berdarah? 

Dan guru Aranya ini yang tiba-tiba datang begitu saja ... mampukah ia mengetahui bahwa Fengjiu adalah seorang penyamar?

Fengjiu menjepit keningnya. Dengan ekspresi yang mengandung kesakitan dan kegembiraan, ia berkata: “Kepulangan Guru sudah pasti sebuah peristiwa yang menyenangkan, tetapi sekarang aku memikirkannya, aku tidak dapat cukup tidur semalam. Aku terserang sakit kepala karena angin pagi. Bagaimana kalau kau menenangkan guruku dulu, aku akan mendatanginya nanti untuk menyampaikan salam dan permintaan maafku.”

Chacha adalah pelayan yang setia. Segera setelah ia mendengar Fengjiu berkata ‘sakit kepala’, ia nyaris saja segera bergegas menuju toko obat.

Kikikan kecil mendadak terdengar di halaman. Fengjiu menaikkan pandangannya dan menatap ke seberang jendela. Sebuah seruling jasper menyingkirkan dahan dedalu dan keluarlah sosok putih.

Tatapan mata Fengjiu mengikuti jubah panjang itu. 

Pria berpakaian serba putih itu tersenyum: “Sudah sebulan lamanya semenjak kita terakhir kali bertemu tetapi kau jadi sakit kepala ketika akan bertemu denganku. Apa yang membuatmu sakit? Haruskah gurumu mendiagnosa dan mengobati penyakitmu?”

Fengjiu jadi bengong ketika kata ‘guru’ keluar dari mulut si pria muda.

Dalam bayangan Fengjiu, kata ‘guru’ selalu bersamaan dengan kata ‘tua’. Tentu saja, guru bibinya, Moyuan adalah pengecualian, tetapi tidak seharusnya ada begitu banyak pengecualian di dunia ini, kan?

Guru-guru harusnya mirip dengan Taishang Laojun di Jiuchongtian, dengan rambut abu-abu dan jenggot yang membuatnya pantas dengan gelar ‘Guru’.

Tetapi apakah pria berkelas berjubah putih di depan matanya sungguh adalah guru Aranya?

Apakah dia, guru yang membesarkan Aranya seorang diri? Fengjiu merasa kepercayaan seumur hidupnya telah benar-benar dihancurkan.

Dalam tiga langkah, si pria terhormat berjubah putih telah mendekati Fengjiu. Ketika ia melihat Fengjiu berdiri mematung di sana, ia melirik ke arah Chacha.

Dengan cepat, Chacha membungkuk pada keduanya dan dengan ceria pergi dari sana.

Fengjiu menenangkan dirinya kemudian mengangkat tangannya untuk menyapa si pria: “Guru, silakan duduk ...”

Fengjiu mengelap keringat di keningnya dan menyajikannya teh, setelahnya menuangkan secangkir lagi untuk dirinya agar lebih tenang.

Si pria berjubah putih pun memperhatikan Fengjiu dengan serius hingga akhirnya berkata: “Aku harap kau baik-baik saja, Yang Mulia Fengjiu.”

Setelahnya, ia menambahkan: “Aku adalah Su Moye.”

***

Teh di mulut Fengjiu menyembur ke wajah Su Moye.

Su Moye adalah pangeran kedua Laut Barat. Ia adalah orang yang ramah, bersama dengan Pangeran Liansong, terkenal sebagai casanova dari berbagai dunia; ia juga merupakan teman minum favorit paman kecil Fengjiu, Bai Zhen.

Su Moye sangat paham soal teh. Fengjiu pernah mengunjungi Laut Barat sekali atau dua kali di masa lalu, dan jadilah mereka bisa dibilang sebagai kenalan.

Tetapi mungkinkah Su Moye yang hanya sekadar kenalan memaksakan diri menerobos masuk ke dalam Mimpi Aranya demi menyelamatkan Fengjiu?

Menurut kesan Fengjiu, Su Moye bukanlah seorang pria yang berbudi. Dan karena ingatannya yang hilang, sudah pasti Fengjiu tidak dapat mengenali kenalan-kenalannya. Yang mengejutkan bagi Fengjiu adalah bahwa Su Moye dapat melihat ialah yang sedang berada di dalam tubuh Aranya.

Biarpun begitu, bertemu dengan teman lama di tanah asing selalu sebuah hal yang baik. Setelah sepasang itu duduk, Fengjiu hanya dapat bertanya.

Dengan mata penuh kelakar, Su Moye mengambil  saputangan sutra putih dari lengan jubahnya dan dengan santai mengelap teh di wajahnya.

“Kau tidak kembali setelah berada di dalam sini begitu lama; keempat ular piton menjaga tempat itu siang dan malam. Kemudian Ratu Biyiniao mengingat bahwa Ratu Ular mungkin dapat menyingkirkan ular-ular piton ini. Liansong mendatangiku, meminta agar aku menyelamatkanmu.”

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar