Three Lives Three Worlds, The Pillow Book 2
Chapter 4 Part 1
Saat fajar menyingsing keesokan harinya, Fengjiu duduk di ranjang, merenungi masalah kehidupannya. Terima kasih pada Su Moye yang membuatnya kehilangan kesadaran, ia dapat bertahan bersama Pangeran Qing di kapal yang sama semalam.
Fengjiu dengar Pangeran Qing telah merayapinya sepanjang malam tanpa hasil. Hanya ketika pagi hari, saat ayam pegar memulai kokokkan mereka, barulah Pangeran Qing kembali istirahat di dalam kamarnya karena kelelahan.
Fengjiu senang dan khawatir di saat bersamaan. Ia senang karena tidak harus menghadapi Pangeran Qing hari ini; ini hal yang sangat, sangat bagus.
Tetapi, haruskah Fengjiu membiarkan Su Moye memukulinya lagi saat malam tiba? Tidak peduli seberapa hebatnya Su Moye, ia tetap akan menghabiskan sepanjang malam, pingsan, kemudian, menderita pusing dan sakit leher di hari berikutnya. Untuk jangka panjang, ini bukan sebuah solusi yang tepat.
Pelayannya, Chacha juga terlihat merenung, sama seperti Fengjiu. Ia juga, senang dan khawatir di saat bersamaan. Chacha senang karena belakangan ini, Yang Mulia Aranya mendapatkan perhatian yang lebih dari keluarga kerajaan.
Semalam, Raja telah memerintahkan Yang Mulia Xize untuk lebih memperhatikan Yang Mulia Aranya. Akhirnya hari-hari keras yang dijalani Yang Mulianya akan berakhir.
Tetapi, Chacha jadi khawatir ketika Yang Mulia Xize tidak mengikuti perintah kerajaan dengan menemani Yang Mulia Aranya kembali semalam.
Mungkinkah itu karena Chacha membiarkan pintunya terbuka hanya sedikit saja?
Lalu, haruskah ia biarkan saja pintunya terbuka malam ini dan hanya menurunkan gordennya?
Tetapi angin begitu dingin di sungai, bagaimana kalau Yang Mulia Aranya terserang angin dingin …
Selagi pelayan dan majikan, keduanya larut dalam lamunan mereka masing-masing, dari luar datang sebuah pesan bahwa setelah setengah jam tertidur, mengingat dirinya akan sarapan bersama Fengjiu, Pangeran Qing memaksakan dirinya untuk bangun dari tidurnya dan sedang menunggu di luar sana.
Fengjiu mendesah dalam hati, berpikir bahwa Pangeran Qing pastilah reinkarnasi dari Iblis.
Fengjiu langsung mengenakan ekpresi wajah yang khawatir dan berkata pada para pelayan: “Bagaimana bisa setengah jam tidur itu cukup. Ia sudah terjaga semalaman, tentu saja ia tidak punya tenaga. Pangeran Qing harus berada lebih lama lagi di ranjangnya. Kalian semua harus berusaha membujuknya tidur. Jika ia kelelahan, pada akhirnya, aku, sebagai kakaknya juga akan merasa pedih ...”
“Sudah dua hari semenjak Anda melihat Pangeran Qing,” Chacha menjawab sedikit terkejut.
“Biasanya Yang Mulia akan menemani Pangeran Qing dan membiarkannya berbaring di kaki Anda untuk tidur, mengapa hari ini ...”
Hati Fengjiu berdegup kencang.
Chacha mendadak terdiam.
Di wajahnya muncul semu yang aneh, kemudian akhirnya malu-malu berkata: “Apakah ... apakah mungkin Anda ingin mencari Yang Mulia Xize hari ini, karena itulah Anda tidak ingin Pangeran Qing yang selalu Anda cintai mengganggu Anda?”
Wajah Chacha terus bersemu selagi ia melingkarkan tangannya menjadi kepalan.
“Yang Mulia Xize merupakan suami Anda, jika kita membandingkan beliau dengan Pangeran Qing, tentu saja, tentu saja akan terdapat beberapa perbedaan.”
Chacha memikirkan sesuatu dan berkata dengan sedikit rasa malu: “Apakah Anda akan mendatangi kamar Yang Mulia Xize sekarang juga untuk sarapan bersamanya? Ah, tentu saja kita tidak bisa menunda hal semacam ini. Bodoh sekali hamba, baru sekarang hamba mengerti tujuan Anda. Hamba bahkan mengajukan pertanyaan yang bodoh. Yang Mulia tenang saja. Chacha akan mengabari Yang Mulia Xize sekarang juga!”
Tepat setelah Chacha selesai berbicara, ia berlari sekencang seekor kelinci. Fengjiu bahkan belmum menggumamkan “tidak’ ketika Chacha sudah menghilang tanpa jejak.
Fengjiu duduk diam sejenak, kemudian tanpa kata menurunkan tangannya yang telah terangkat untuk menghentikan Chacha pergi.
Baiklah. Mana yang lebih kecil keiblisannya—genggaman Pangeran Qing atau Xize. Bahkan jika Fengjiu menggunakan kakinya untuk berpikir, Xize masih tetap pilihan yang lebih baik.
***
Di masa lalu, bibi Fengjiu pernah menderita karena seekor ular kecil. Di titik ini, ia merasa bahwa, cepat atau lambat, ia pun akan menderita karena si jahanam Pangeran Qing ini.
Orang-orang dari Qingqiu memang tidak cocok dengan ular. Karena mereka berada di atas sebuah kapal, kamar Xize tidak luas. Sebuah layar pembatas dengan gambar sekumpulan gagak bermain-main di atas permukaan air memisahkan ruangan.
Fengjiu membuka pintu dengan santai ketika ia melihat Junuo dan Changdi sudah duduk di sekeliling meja mahogani, memakan bubur dengan sopan.
Xize duduk beberapa kaki jauhnya, menyibukkan diri dengan sebuah pembakar dupa.
Pergerakan tiba-tiba dari pintu itu membuat suara yang keras, tetapi Xize bahkan tidak bersusah-payah mengangkat kepalanya. Ujung bibir Changdi tertarik ke atas saat ia menatap Fengjiu dengan cemoohan, sementara Junuo dengan sopan melanjutkan acara makan buburnya.
Fengjiu melengkungkan alisnya. Bahkan meski Junuo sedang sakit dan Xize harus terus menjaganya, seharusnya Xize yang mendatangi kamar Junuo.
Tindakan kedua saudari yang acuh tak acuh, tanpa mempedulikan apakah akan menimbulkan kecurigaan atau tidak. Mereka bahkan jauh lebih cuek dari dirinya sendiri; Fengjiu harus memberi mereka kekagumannya dari hati.
Melihat bahwa Xize tidak melihat Fengjiu sama sekali, Changdi merasakan kepuasan luar biasa. Changdi yakin bahwa Fengjiu pastilah sangat malu saat ini dan pastinya tidak akan tetap tinggal di sana meski hanya sedetik. Merasa puas, senyum di wajah Changdi pun makin dalam.
Akan tetapi, dalam sedetik, senyum yang sama itu membeku. Changdi sungguh telah meremehkan ketebalan muka Fengjiu.
Telah memiliki dasar yang kuat, selagi Fengjiu berada di Lembah Fanyin, ia telah memungut semuanya dari memperhatikan dan mendengarkan Donghua Dijun.
Belakangan ini, meskipun kulit Fengjiu masih jauh dari tak dapat dilukai oleh sebilah pedang, mengatasi situasi semacam ini hanyalah permainan anak-anak.
Seolah tiada satu pun orang di sana, Fengjiu langsung mencari tempat duduknya sendiri, dan seolah tidak ada orang di sana, ia mengambil makanannya sendiri.
Seterusnya, mereka semua duduk, memakan bubur ringan yang sama, sesendok demi sesendok, hambar dan tidak berasa.
Meski demikian, Fengjiu yang duduk di samping mereka memakannya dengan begitu nikmat tanpa adanya kesulitan; ia terlihat seolah sangat menikmati makanannya, terlalu menikmatinya.
Changdi kebingungan. Aranya tak hentinya menempeli Xize dan tampak benar-benar jatuh hati pada Xize.
Tetapi, di pagi hari ini, ia telah diabaikan oleh Xize, mengapa Aranya tidak menunjukkan keluhannya? Mengapa tidak ada keberatan? Kenapa tidak ada kebencian? Mengapa tidak ada luka yang nyata pada Aranya?
Di sisi lain, Aranya memang selalu hebat dalam bersandiwara. Mungkin saja ia hanya memaksakan senyuman. Jika demikian, Changdi harus menghasutnya sedikit.
Changdi melengkapi untaian pikirannya dan mengejek: “Aku dengar Kakak Aranya kemari untuk sarapan bersama Yang Mulia Xize. Jika kau sudah selesai, lebih baik kau pergi, kalau tidak, akan ada ganggungan selama perawatan Yang Mulia Xize untuk Kakak Junuo.”
Fengjiu mengeluarkan sebuah buku dari dalam lengan jubahnya dan membalas: “Tidak apa. Kalian semua lanjutkan saja perawatan kalian. Aku hanya akan membaca sedikit. Kalian tidak perlu bersopan santun dengan takut menggangguku. Aku kan bermurah hati.”
Urat Changti berubah biru.
“Tidak tahu malu! Siapa yang takut mengganggumu?!”
Junuo berdeham lembut dan memotong: “Jangan berlaku tidak sopan!”
Kemudian, Junuo berbalik menghadap Fengjiu dan berkata, “Adik pasti tidak tahu, aku mengalami pusing belakangan ini. Biasanya, tentu saja, aku akan sangat gembira melihatmu datang berkunjung. Tetapi jika ruangannya penuh begini ...”
Junuo berbicara pada Fengjiu, tetapi tatapan matanya tampaknya melewati Xize.
“Benarkah, jika kakak menderita penyakit seperti itu, tampaknya kau harus segera kembali ke kamarmu untuk berbaring dan istirahat,” Fengjiu menjawab dengan perhatian yang menggebu.
“Kamarmu jauh dari sini, beri aku beberapa waktu untuk mengirimkan dua pelayan menemanimu kembali.”
Setelah selesai, Fengjiu membuat gerakan bangkit berdiri.
Junuo ternganga keheranan.
Changdi mengigiti bibirnya penuh amarah dan berbalik menghadap Xize: “Lihat dia ...”
“Adik,” Fengjiu memulai dengan rendah hati, “Apakah kau ingin memujiku karena perhatianku? Sungguh sopan dan hormat sekali dirimu.”
Kata-kata kejam Changdi yang tak terucap tertelan kembali hingga masuk ke dasar perutnya. Jika ia mengatakan sesuatu di saat ini, artinya ia tidak mengerti sopan-santun. Tetapi, jika ia tidak mengatakan apa pun, mana mungkin ia dapat menelan nada bicara semacam itu?
Selagi pikirannya berputar, Changdi meletakkan tangannya untuk menyangga Junuo yang duduk di sebelahnya dan berkata panik: “Kakak Junuo, ada masalah apa?”
Cara kerja dua bersaudari ini sungguh selaras.
Junuo mengangkat tangannya ke pelipis dan membalas, “Tiba-tiba saja, aku merasa pusing ...”
Sebuah nyanyian yang dinyanyikan dengan baik.
Inilah yang disebut dengan akting penuh iba—sebuah sandiwara yang dirancang khusus untuk menarik simpati dari orang lain. Fengjiu mengenalinya karena setiap kali ia terjebak masalah waktu kecil, ia selalu suka melakukan sandiwara semacam ini.
Sejak ia masih kecil, hingga sekarang, Fengjiu tidak ingat berapa kali ia telah melakukan sandiwara semacam ini. Ia meremehkan dalam hati dengan akting rendahan Junuo dan Changdi, tetapi dengan akting kecil seperti ini, mereka benar-benar membuat Xize meletakkan pembakar dupanya dan mengambil beberapa langkah yang dibutuhkan untuk menghampiri mereka.
Xize bantu menyangga Junuo, tangannya diletakkan di atas milik Junuo untuk mengecek denyut nadinya, matanya tampak melewati ke arah perut Junuo.
Ada beberapa kesulitan yang tercipta dari perkembangan ini. Dari ekspresi suami Aranya yang baik sekali ini, Junuo tampaknya memang sebegitu penting baginya. Entah apakah ia sedang mendiagnosa sesuatu, Xize Shenjun mungkin ingin mengusir tamunya keluar.
Fengjiu mendesah dalam hati. Langit, kalau Pangeran Qing sedang tertidur, tentu saja Fengjiu tidak harus berada di sini sama sekali, tetapi Pangeran Qing tidak tertidur.
Sekalinya Fengjiu melangkahkan kaki keluar dari pintu itu, ia pasti akan dikelilingi oleh para pelayan yang mendesaknya untuk menghabiskan waktu bersama dengan Pangeran Qing ...
Fengjiu berkeringat dingin. Jika ia pingsan sekarang, mungkin ia bisa terus berada di kamar Xize.
Fengjiu tidak pingsan. Karena tepat di saat itu, Chacha mengetuk pintu. Chacha menduga, ia sangat memuja Pangeran Qing dan jadilah ia harus selalu mengabari situasi terakhirnya pada Fengjiu.
“Pangeran Qing sudah tidur, sangat lelap. Yang Mulia tidak perlu khawatir.”
Xize yang sedang memeriksa Junuo benar-benar mendongak kali ini; ia berkata tak acuh pada Fengjiu: “Bisakah kau ...”
Namun, kata ‘kau’ belum juga sampai menginjak tanah, ketika Fengjiu telah melompat dengan seringaian besar di wajahnya: “Lihat ingatanku, aku sampai melupakan segala sesuatu tentang menikmati angin sungai dengan Mo Shao pagi ini. Karena kalian tidak bisa menikmati angin sungai, tetaplah di sini dan istirahat dengan tenang. Selamat tinggal, selamat tinggal. Aku akan kembali kemari untuk menikmati keramahan kalian jika aku punya waktu.”
Sampai di pintu, Fengjiu menjulurkan kepalanya lagi dan dengan tulus tersenyum pada Junuo: “Jaga diri baik-baik, Kakak. Rawat penyakitmu dan minum obatmu tepat waktu agar dapat cepat pulih.”
Wajah Junuo berubah membiru selama sesaat.
Xize masih tetap diam di tempat. Kemudian ia berbalik menghadap Changdi, seolah ia sekarang menyelesaikan apa yang sedang dikatakannya barusan pada Fengjiu: “Bisakah kau menolongku membawakan bungkusan bubuk obat di dekat pintu masuk.”
***
Kapal ini begitu besar, namun untuk mencari Su Moye, hanya ada dua tempat. Antara ia sedang berbaring di dalam kamarnya, atau sedang berada di haluan kapal.
Fengjiu pergi menuju haluan kapal untuk mencari Su Moye. Menyapa mata Fengjiu adalah tungku merah bata, satu set perlengkapan teh berwarna kehijauan, dan Mo Shao yang tengah menuangkan teh.
Su Moye menatap Fengjiu sambil tersenyum lembut: “Setelah terbangun dari tidur musim semi, aku merasa buku-buku terlalu duniawi. Kesenangan baruku adalah meminum teh pahit dengan santai di beranda. Nona muda yang telah tergesa bersembunyi di sini, bolehkah aku menuangkannya secangkir teh?”
Fengjiu akhirnya memahami mengapa Mo Shao terkenal sebagai salah satu pria paling romantis di daratan. Bukankah ini tampilan yang menarik? Beruntungnya, penempaan diri Fengjiu begitu kuat dan reaksinya hanyalah sedikit kedutan kelopak matanya.
Tetapi, bagaimana mungkin wanita biasa mengatakan tidak ketika ia ditawari teh oleh seorang pria berkharisma begini?
Keduanya merupakan pecinta teh, tetapi seseorang dapat melihat Donghua Dijun dan Su Moye jelas sekali berbeda. Jika orang yang sedang menyeduh teh adalah Dijun, selain dari gayanya yang elegan, perkataan Dijun tidak akan mengandung kharisma yang dapat ditemukan dalam kata-kata Mo Shao.
Dijun biasanya hanya punya tiga kata untuk diucapkan: “Minum atau tidak?”
Fengjiu tersenyum lembut.
Di saat itu, Fengjiu jadi melamun. Sejujurnya, ia tidak banyak memikirkan Donghua belakangan ini. Kala itu, ia sibuk mencuri buah Saha. Lalu keduanya, Fengjiu dan buah itu jatuh ke dalam dunia ini.
Fengjiu bertanya-tanya apa yang terjadi pada Dijun dan Jiheng setelahnya. Mungkin mereka telah berhasil mengurai kekusutan di antara mereka dan sekarang tak terpisahkan. Seperti kata Jiheng, mereka akan bertahan selamanya.
Fengjiu meniupkan uap hangat ke tangannya. Masih ada masanya ketika ia tetap memikirkan soal Dijun, tetapi Dijun berada di masa lalu yang berbeda; tidak perlu repot-repot melupakannya. Mulai sekarang, Donghua Dijun telah jadi tak lebih dari empat kata bagi Fengjiu.
“Aku hanya sedang bercanda denganmu,” Su Moye berkata selagi ia menawari Fengjiu untuk duduk.
“Apa, mungkinkah aku membangkitkan beberapa kesedihan?”
Terkejut, Fengjiu menjawab, “Aku masih begitu muda, kesedihan macam apa yang mungkin kumiliki?”
Tidak dapat menahan rasa penasarannya, Fengjiu mencondongkan diri pada Su Moye dan bertanya, “Perkataan yang kau gunakan untuk mengundangku minum teh barusan, apakah kau juga berbicara dengan cara seperti itu pada Aranya?”
Su Moye mengernyitkan alisnya pelan.
Lagi, Fengjiu tidak mampu menahan dirinya dan mencoba menggali lebih dalam mengenai masa lalu: “Dan bagaimana Aranya akan meresponmu?”
Terdapat getaran halus pada tangan Su Moye yang tengah menuangkan teh. Seorang gadis muda yang sedang tersenyum tampaknya muncul tepat di depan matanya. Gadis itu mengerling padanya, kemudian mendadak melambaikan tangan pada para penari di dekat mereka.
“Guru sedang mengundang semuanya untuk minum teh. Kakak sekalian, kenapa kalian masih belum bergabung ...?”
Aranya kemudian melangkah ke pinggir.
Hal berikutnya yang diketahui oleh Su Moye, ia terjebak di kursinya dikelilingi berlapis-lapis penari, tidak punya cara untuk melarikan diri.
Su Moye berhenti menuangkan teh dan tersenyum menawan: “Kenapa aku harus memberitahumu?”
Fengjiu menegakkan dirinya dan terlihat muram: “Baiklah kalau begitu.”
Berputar dan mondar-mandir untuk sementara waktu, Fengjiu berkata, “Sebenarnya, aku kemari mencarimu untuk meminta bantuan. Kau membantu memukulku semalam, tetapi kita tidak bisa melakukannya setiap malam. Aku dengar kapal ini akan berlabuh di malam hari.
"Ada sebuah tempat dengan pemandangan yang indah dan aku ingin sekali pergi melihatnya. Namun, jika Ah Qing ikut, tidak akan jadi menyenangkan lagi. Aku sudah memikirkan sebuah cara sepanjang perjalananku kemari. Coba dengarkan.”
Su Moye menjawab penuh simpati: “Kau sungguh berusaha keras dan membuat hidupmu kesulitan demi menghindari Pangeran Qing.”
Berhasil memikirkan cara ini, Fengjiu memang telah berusaha sangat keras. Pengelihatan Pangeran Qing tidak bagus. Untuk menemukan Fengjiu, ia selalu menggunakan hidungnya.
Di malam hari, kapal naga ini akan berlabuh di Gunung Patah Hati. Gunung Patah Hati punya sebuah Jurang Patah Hati, di bawah jurang itu terdapat Teluk Mingxi.
Fengjiu ingin mengunjungi Teluk Mingxi malam ini untuk melihat bunga Yueling. Meskipun ia mempertimbangkan untuk menaburkan bedak ke seluruh tubuhnya agar dapat kabur dari Pangeran Qing, dengan tabiat Pangeran Qing, ia pasti akan mengamuk ketika gagal menemukan Fengjiu. Pada saat itu, Pangeran Qing bisa saja menelan seluruh kapal naga.
Fengjiu berpikir bolak-balik. Untuk menemukan seseorang yang akan mengenakan gaunnya dan mengambil aromanya adalah cara terbaik. Akan tetapi, mengingat si hebat Pangeran Qing, Fengjiu tidak dapat bersikap begitu kejam tidak peduli siapa pun orangnya.
Namun, Langit tidak mengecewakan. Ketika Fengjiu tengah terjebak kesulitan, Changdi muncul di hadapannya tepat waktu ...
Fengjiu berkata pada Su Moye, “Dari apa yang kulihat, Changdi sepertinya mempunyai perasaan rahasia pada Xize. Malam ini, aku akan meninggalkan sepucuk surat dengan nama Xize dan mengundangnya bertemu di sungai. Mo Shao, bentuk tubuhmu tidak berbeda terlalu jauh dari Xize. Jika kau berpura-pura jadi dirinya, itu pasti mudah.”
Fengjiu menjeda, kemudian menambahkan hati-hati: “Ketika kita menepi, buatlah sebuah lubang beberapa langkah jauhnya dan masukkan air dari sungai, kemudian tutupi dengan sebuah mantra. Saat Changdi datang berlari ke arahmu, ia pasti akan terjatuh ke dalamnya. Aku akan berada di kapal kecil yang juga berlabuh di dekat situ. Aku akan menyiapkan beberapa pakaian.
"Kau keluarkan Changdi dari air, kemudian bimbing dia memasuki kapal kecil dan biarkan ia mengganti pakaian basahnya. Setelah kau menyelesaikan hal-hal ini, kau sudah termasuk sebagai dermawanku yang luar biasa. Aku akan membawamu melihat bunga Yueling.”
Su Moye memperhatikan Fengjiu selagi ia mencelupkan jarinya ke dalam teh dan menggambarkan sebuah peta topografi dengan sangat serius.
Su Moye tertawa lepas: “Paman kecilmu selalu mengatakan, sebagai satu-satunya cucu di Qingqiu, kau terlalu dimanjakan. Dengan watak seperti Iblis, kau pergi berkeliling membuat berbagai macam masalah. Aku tidak mempercayainya sebelumnya, tetapi sekarang aku lihat, kau memang sesuai dengan julukanmu.”
Fengjiu meledak: “Paman kecil bergantung pada sokongan paman ipar, dialah yang pergi kesana-kemari membuat berbagai masalah. Membicarakan diriku tanpa tahu malu.”
Fengjiu kelihatan tersinggung.
“Sebenarnya, setiap kali bibi dan aku membuat masalah, kami selalu mempertimbangkannya dengan hati-hati sebelumnya.”
Merasa sedih, Fengjiu menambahkan: “Belakangan ini, bibi punya sokongan paman ipar jadi ia cukup tenang, tetapi aku, aku masih punya begitu banyak hal untuk dipikirkan.”
Su Moye tersedak tehnya dan berseru, “... itu dapat dianggap sebagai kebiasaan baik.”
Kemudian Su Moye mengelus alisnya dan melanjutkan: “Rencanamu ini terdengar bagus secara teori, tetapi semenjak kau menarik Tuan Xize ke dalamnya ...” raut wajah Su Moye jadi tak dapat ditebak.
“Xize bukanlah seorang yang mudah untuk dijebak. Jika ia mengetahui bahwa kau memanfaatkannya, aku takut akan terjadi lebih banyak masalah.”
Fengjiu mempertimbangkan ini dengan serius selama beberapa waktu, kemudian setelahnya, mengajukan tepat tiga kata: “Memangnya aku peduli.”
***
Saat malam menghampiri, dengan sebuah topeng bertengger di kepalanya, Fengjiu berjongkok di dalam alang-alang pinggiran sungai dan mengintip situasi di luar menggunakan mata bersinar penuh semangat.
Si’xing diapit oleh Gunung Patah Hati dalam sebuah ngarai sepi yang sempit. Lentera permohonan yang tak terhitung jumlahnya milik para penghuni gunung memenuhi teluk. Mereka berbintik-bintik sepanjang garis langit layaknya bintang-bintang abadi.
Malam ini bertepatan dengan festival Jade Maiden penduduk lokal. Festival ini merupakan sebuah peristiwa perjodohan antara pria dan wanita, sebuah kebiasaan lama penduduk lokal.
Pada malam hari festival, kedua pihak pria dan wanita mengenakan kostum bertopeng untuk keluar. Dimana rerumputan tampak tenang dan bunga-bunga terdiam kaku, mereka menggunakan lagu dan tarian untuk menyatakan perasaan mereka, membentuk sebuah awalan dari kehidupan pernikahan yang bertahan lama.
Karena mereka sedang mengadakan sebuah peristiwa besar, dikabarkan bahwa Gunung Patah Hati akan ditutup malam ini.
Fengjiu mengotak-atik topeng di atas kepalanya dan diam-diam tertawa kecil. Beruntungnya ia membawa sebuah topeng sesuai instingnya, kalau tidak, menerobos masuk ke dalam pegunungan tidak akan semudah ini.
Embusan angin bertiup di sepanjang rawa sungai, Fengjiu bersin dan mengeluarkan saputangan dari lengan jubahnya untuk mengelap hidungnya yang berair. Ia mendongak untuk melihat lubang air yang dibuatnya tadi sore, berada tepat di hadapannya.
0 comments:
Posting Komentar