Kamis, 05 November 2020

3L3W TMOPB - Prolog Part 1

Ten Miles of Peach Blossoms

Prolog Part 1

Ia merasa benar-benar kehabisan tenaga.

“Itu karena Anda sedang mengandung Pangeran kecil,” kata Nai Nai. “Tentu saja Anda kelelahan, Niang Niang. Jangan terlalu khawatir.”

(T/N : Niang Niang biasanya adalah panggilan untuk seorang wanita dengan posisi sebagai istri anggota keluarga kerajaan.)

Nai Nai adalah gadis pelayannya, dan satu-satunya makhluk abadi di Istana Xi Wu di Jiu Chong Tian yang tersenyum padanya dan memanggilnya Niang Niang. Makhluk abadi lainnya, semua memandang rendah Su Su karena Ye Hua belum menikahinya secara resmi dan karena ia tidak seperti mereka: ia hanyalah seorang manusia.

Nai Nai membuka jendelanya; siliran angin bertiup memasuki kamar, dan langkah kaki dapat terdengar dari luar sana.

“Yang Mulia Pangeran datang mengunjungi Anda, Niang Niang,” Nai Nai berkata dengan gembira.

Dengan pergerakan layaknya sebuah boneka kayu, Su Su mendorong dirinya bangkit dari bawah selimut bersulam dan duduk bersandar di selusur ranjang. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur, tetapi kepalanya masih terasa berkabut. Ia barus saja terbangun, tetapi masih mengantuk, sangat mengantuk.

Ia tenggelam lebih dalam di dalam selimutnya saat si Pangeran berambut hitam, Ye Hua, berpakaian serba hitam, duduk di pinggir ranjangnya.

Memegangi selimutnya, ia menenangkan dirinya. Terdapat keheningan. Ia menduga, Ye Hua pasti marah. Kapan ini dimulai, ketakutan ini setiap kali ia bertemu dengan Ye Hua? Nyaris sudah menjadi refleks.

Kau tidak boleh membiarkannya tahu kau masih marah padanya. Kau tidak boleh menyinggungnya, pikirnya dalam kebingungan.

“Bukankah bintangnya bersinar terang malam ini?” ia berkata pelan. Ia mencoba untuk tidak gemetaran, tetapi suaranya yang keluar terdengar bergetar.

“Su Su, ini siang hari.” Ye Hua berkata setelah terdiam.

Ia memindahkan tangannya ke wajahnya secara naluriah untuk mengusap matanya, tetapi tangannya malah bergesekan dengan sehelai kain putih.

Tiba-tiba saja ia teringat: ia tak lagi mempunyai mata. Tidak peduli seberapa keras ia mengusap mereka, yang dapat dilihatnya adalah kegelapan. Sebagai seorang manusia, ia tidak pernah cocok berada di Istana Langit yang luas, dan ini semakin menjadi masalahnya sekarang karena ia buta.

Ye Hua membelai wajahnya dalam diam setelah sekian lama sebelum berkata, “Aku akan menikahimu di sini. Mulai dari sekarang, aku akan menjadi matamu. Su Su, aku akan menjadi matamu.”

Tangan yang berada di wajahnya terasa dingin, dan meskipun itu merupakan gestur yang lemah lembut, terasa seperti sebilah pisau yang menancap ke dalam hatinya. Ia mendadak teringat jelas akan mimpi buruk semalam dan menjadi begitu ketakutan sampai ia mulai gemetaran dan mendorongnya menjauh. Sekarang ia merasa lebih ketakutan lagi.

“Aku ... Aku tidak sengaja mendorongmu,” ia buru-buru menjelaskan. “Jangan marah ...”

Ye Hua menggenggam tangannya. “Su Su, ada apa?”

Rasa sakit menyebar ke seluruh hatinya seperti setetes tinta yang diserap masuk ke dalam secarik kertas beras tebal.

“Ti—tiba-tiba saja aku mulai merasa sangat letih,” ia berbohong, giginya bergemeletuk. “Lanjutkanlah pekerjaanmu. Aku ingin tidur lagi. Jangan cemaskan aku.”

Hening lagi.

Ia benar-benar tidak ingin Ye Hua mencemaskan dirinya lagi.

Apa yang tadinya terasa seperti perlakuan penuh kasih dari orang tercintanya sekarang jadi tidak tertahankan. Kadang kala ia akan bertanya-tanya, mengapa, jika Ye Hua sangat menyukai gadis lain itu, ia menerima permintaan tidak masuk akal yang diajukannya dulu.

Dulu ... dulu ia dipenuhi penyesalan karena tidak mengambil tindakan yang berbeda.

Setelah beberapa lama, ia mendengar langkah kaki. Ye Hua sudah pergi, dan Nai Nai bergegas menuju ke pintu.

Ia duduk di sana selama beberapa waktu, memeluk selimutnya dan merasa terkucil. Setelah gemetarannya agak mereda, ia kembali membenamkan dirinya di ranjangnya. Tiba-tiba saja kepalanya dipenuhi dengan bayangan yang kacau: suatu saat, ia melihat Gunung Jun Ji di Dataran Timur, selanjutnya adalah wajah Ye Hua, lalu belati berlumur darah dan matanya yang baru saja dikeluarkan.

Setelah aku melahirkan anak ini, aku akan kembali ke Gunung Jun Ji, ia memutuskan dalam keadaan bingungnya ini. Itu adalah tempatku. Cinta yang menghancurkan ini akan berakhir di tempat ia dimulai. Akan segera berakhir.

Ia meletakkan tangannya di atas kain sutra putih dimana tempat seharusnya matanya berada, bergumam dalam rasa sakit, suaranya agak tercekat. Tetapi ia tidak menangis.

Ia tidur lebih lama, sampai Nai Nai dengan hati-hati membuka pintunya dan masuk ke dalam.

Niang Niang. Niang Niang. Apakah Anda sudah bangun?” ia bertanya lembut.

Tenggorokannya mengetat. “Apa yang kau inginkan?” ia tergagap.

Langkah Nai Nai terhenti. “Pelayan Su Jin Niang Niang tiba, membawa sebuah pesan dari beliau yang mengundang Anda minum teh bersamanya.”

Merasa kesal, ia menarik selimutnya untuk menutupi wajahnya. “Beritahu padanya, aku tidur.”

Su Jin terus saja menjilatnya belakangan ini. Ketika ia masih merasa positif, ia membayangkan, itu pasti karena Su Jin merasa bersalah. Su Jin telah mengambil matanya; kebutaan Su Su merupakan kesalahannya.

Su Jin membuat Ye Hua mencungkil matanya.

Orang-orang ini, ia tidak ingin melihat satupun dari mereka lagi. Ia bahkan tidak berharap untuk mengenali salah satunya. Ia bukan lagi gadis yang sama yang tiba di sini tiga tahun yang lalu, gadis muda yang menggeliat tak tenang, memelihara gagasan bodoh bahwa ia mungkin akan disukai oleh mereka semua jika ia mencoba dengan cukup keras.

***

Mataharinya terbenam di balik Gunung Barat ketika Nai Nai mengguncangkan Su Su bangun.

Sudah menjelang senja, jelas Nai Nai. Ada pemandangan matahari terbenam bersinar luar biasa di halaman, dan siliran angin lembut berputar di udara. Waktu yang sempurna baginya untuk duduk di halaman. Ia sudah tidur sepanjang hari, dan tulangnya mungkin terasa kaku. Sedikit berjalan-jalan akan baik baginya.

Nai Nai memindahkan sebuah kursi goyang ke halaman dan baru saja akan membimbingnya ke sana, tetapi Su Su mengangkat sebelah tangannya untuk menghentikan gadis pelayannya. Ia mencoba mencapainya tanpa bantuan, berpegangan pada meja dan dinding sebagai topangan, bergerak di sepanjangnya selangkah demi selangkah.

Berjalan itu melelahkan, dan ia tersandung beberapa kali, tetapi ia mampu merasakan secercah sinar tumbuh dalam dirinya. Ia harus mempelajari kemampuan ini sesegera mungkin. Sudah seharusnya apabila ia ingin kembali ke Gunung Jun Ji dan menjalani hidup dengan sepantasnya.

Saat ia duduk di atas kursi goyangnya, menikmati embusan angin, ia merasa dirinya jadi mengantuk lagi.

Ia jatuh dalam keadaan tak sadar, seperti mimpi yang dalam. Mimpi ini membawanya kembali ke Gunung Jun Ji, kembali ke masa tiga tahun sebelumnya, kembali pada saat ia pertama kali melihat Ye Hua.

***

Seorang pemuda gagah yang pingsan di depan gubuknya. Rambutnya hitam, dan mengenakan pakaian hitam. Ia memegang sebilah pedang dan dari ujung kepala hingga kakinya berlumuran darah. Ia berdiri di sana, terkejut selama beberapa waktu sebelum bergegas dan menariknya masuk ke dalam. Ia memberikannya obat untuk menghentikan pendarahannya dan takjub melihat lukanya sembuh tepat di depan matanya. Dalam waktu kurang dari dua hari, luka yang mengancam nyawanya telah sembuh sepenuhnya.

Pemuda ini bangun dan menatapnya dalam diam. Ketika akhirnya ia berbicara, suaranya tenang dan menyenangkan. Ye Hua berterima kasih padanya karena telah menyelamatkan nyawanya dan memberitahunya kalau ia akan membalas budinya.

Ia memberitahunya kalau siapa pun yang berada dalam posisinya akan melakukan hal yang sama. Yang dilakukan olehnya hanyalah memberikan beberapa dosis obat herbal, sungguh bukan apa-apa. Tetapi Ye Hua bersikeras tentang membalas budinya. Saat ia memberitahu Ye Hua ia menginginkan setumpuk perak dan emas, pemuda itu memandanginya keheranan.

“Menyelamatkan nyawaku lebih berharga daripada emas dan perak,” katanya. Di segala usia, mungkin tidak ada satu pun penyelamat yang setidak berdaya dirinya.

Merasa kalah, akhirnya ia merentangkan lengannya dan berkata, “Kalau begitu, mengapa tidak kau bayar utangmu dengan tubuhmu?”

Ye Hua menatapnya takjub.

Usulan konyolnya membawa keduanya menajadi sepasang kekasih, dan segera, ia pun mengandung.

Ia tinggal sebatang kara di Gunung Jun Ji selama yang mampu diingatnya. Yang diketahui olehnya adalah perubahan musim dan apa yang ada dalam gunung: burung, binatang buas, serangga, dan ikan.

Ia tidak memiliki seorang suami, dan karenanya tidak memiliki nama. Pemuda itu memanggilnya Su Su dan menjelaskan bahwa ini akan menjadi namanya mulai dari sekarang. Selama berhari-hari, ia menyembunyikan kegembiraan yang dirasakannya karena diberikan nama ini.

Setelahnya, pemuda ini membawanya kembali ke Jiu Chong Tian. Ia mengetahui kalau Ye Hua merupakan cucu dari Tian Jun (Kaisar Langit). Pada saat itu, Ye Hua masih belum diberikan gelar resmi sebagai pewaris takhta Langit.

Tidak ada seorang pun di Jiu Chong Tian yang menerimanya sebagai istri Ye Hua. Ia tidak pernah memberitahu Tian Jun ia telah menikahi seorang manusia yang ditemuinya di Dataran Timur.

Suatu malam, ia pergi ke kamar Ye Hua untuk membawakannya sup. Tidak ada seorang pun yang berjaga di luar. Ia mendengar Selir Tian Jun, Su Jin, berbicara penuh penderitaan.

“Akui saja, alasan kau menikahi seorang manusia adalah karena aku mengkhianatimu dengan menikahi Tian Jun! Tetapi, apa pilihan yang kumiliki? Apakah ada wanita di seluruh Empat Lautan dan Delapan Dataran ini yang mampu menolak perhatian Tian Jun? Beritahu aku, Ye Hua, aku masih satu-satunya yang kau cintai, kan? Kau menamainya Su Su hanya karena itu mengingatkanmu akan namaku, Su Jin.”

Ia tiba-tiba saja terbangun, dipenuhi dengan kengerian dan basah oleh keringat dingin. Mimpinya menceritakan kejadian dari masa lalu tepat sebagaimana mereka terjadi. Ia berbaring di sana tak bergerak selama beberapa lama sebelum mengangkat sebelah tangannya untuk mengelus perutnya yang menonjol. Hampir tiga tahun sekarang semenjak ia mengandung anak ini. Bayi ini akan segera lahir.

***

Malam sudah turun, tetapi Nai Nai masih belum datang untuk membantunya bersiap-siap tidur. Ia masih belum bisa membersihkan dirinya sendiri, dan terpaksa memanggilnya. Nai Nai menghampirinya untuk membantunya menarikkan selimut bersulam menutupi kaki Su Su.

“Mohon tunggu sebentar, Niang Niang. Yang Mulia Pangeran mungkin masih akan berkunjung.”

Ia menahan tawanya. Ye Hua tidak pernah sekalipun tidur di kamar tidurnya semenjak insiden itu dan tidak akan pernah melakukannya lagi. Meskipun demikian, ia tidak keberatan. Kalaupun Ye Hua muncul, mereka hanya akan berbaring di sana dalam kesunyian. Ia mungkin akan berakhir membuatnya marah.

Berada di sini membuatnya sangat rentan. Ia tidak menyadari itu sebelumnya. Ia pikir, Ye Hua akan selalu ada di sana untuk menjaganya, tetapi insiden itu sudah menjadi serangan telak, dan saat orang yang menyakitimu adalah satu-satunya yang sungguh kau percayai ... ia mengepalkan tangannya, yang mulai bergetar tak terkendali, terkepal.

Apabila Ye Hua memberitahu dirinya, ia jatuh cinta pada orang lain ketika mereka masih berada di Gunung Jun Ji di Dataran Timur, ia tidak akan pernah membuat keputusan konyol untuk menikahinya. Ia bahkan belum jatuh cinta padanya waktu itu. Ia hanya merasa kesepian tinggal sendirian di antara gunung dan hutan zambrud itu sepanjang tahunnya.

Tetapi Ye Hua tidak mengatakan apa-apa. Ia menikahinya sesuai dengan adatnya dan setelah itu membawanya kembali ke Jiu Chong Tian.

Itulah saat semuanya berubah jadi suram. Tidak sesederhana saat hanya ada mereka berdua di Gunung Jun Ji. Ia terus-terusan menangkap gosip mengenai dirinya dan Selir Tian Jun, Su Jin. Su Su memiliki kemampuan bawaan untuk tetap positif, dan berhasil menghilangkan semua rumor.

Bagaimanapun juga, dirinyalah yang dinikahi oleh Ye Hua. Mereka telah bersujud dan menyembah langit dan bumi untuk bersumpah. Ia sedang mengandung anak Ye Hua, dan yang dapat diharapkannya adalah bahwa suatu hari nanti, ada cinta yang akan mekar bersama Ye Hua.

Ye Hua tampaknya menjadi lebih lembut terhadapnya belakangan ini. Meskipun jika Ye Hua tidak mencintainya, ia menghibur dirinya sendiri dengan fakta bahwa Ye Hua pasti menyayanginya.

Namun, setelahnya, insiden itu terjadi. Dan ia terbangun dari mimpinya, harganya adalah kehilangan matanya, kehilangan pengelihatannya.

***

Hari itu adalah hari yang cerah dengan siliran angin yang lembut. Ketika Su Jin mengundangnya untuk bersama-sama pergi ke Kolam Giok, mengagumi bunga-bunga, ia berasumsi ini merupakan sebuah wisata sekelompok wanita-wanita istana dan dengan bodohnya menerimanya.

Ia tiba di Kolam Giok, menemukan hanya ada mereka berdua.

Su Jin membubarkan pengiring istananya dan membawanya menuju Zhu Xian Tai yang dikelilingi oleh kabut.

Su Jin berdiri di Zhu Xian Tai dan tertawa dingin. “Apakah kau tahu kalau Tian Jun akan menetapkan Ye Hua secara resmi sebagai pewaris takhta Langit? Di saat bersamaan dengan ini, ia akan memberikanku kepada Ye Hua sebagai istrinya.”

Su Su tidak pernah memahami peraturan serta permainan makhluk abadi. Ia merasa darah melonjak di antara dada dan perutnya, tetapi tidak yakin apakah itu terbangkitkan dari amarah ataukah kebingungan.

Si selir pun berdiri di sana dengan gaya elegannya dan tertawa lagi. “Ye Hua dan aku saling mencintai,” katanya. “Jiu Chong Tian bukanlah sebuah tempat untuk seorang manusia. Setelah kau melahirkan bayimu, kau harus melompat dari Zhu Xian Tai dan kembali kemanapun asalmu.”

Su Su tidak tahu jika melompat dari Zhu Xian Tai benar-benar akan membawanya kembali ke Gunung Jun Ji atau tidak, dan ia tidak mempertimbangkan untuk melompat dari sana.

“Apakah Ye Hua menginginkanku untuk kembali?” ia bertanya kebingungan. “Aku adalah istrinya. Aku harus berada dimanapun ia berada.”

Saat ia memikirkan kembali percakapan itu, Su Su menyadari seberapa banyaknya kenaifan serta kebodohan yang ia perlihatkan kepada Su Jin. Waktu itu, harapannya bahwa Ye Hua masih sedikit menyukainya, cukup, paling tidak untuk sebuah masa depan, agar memungkinkan. Selama Ye Hua menyukainya sedikit, ia akan tetap berada di sisinya.

Su Jin mendesah geli dan mencengkeram tangan Su Su. Su Jin membawanya menuju pinggir Zhu Xian Tai dan mendorong punggung Su Su, melemparkan wajahnya ke tepi Zhu Xian Tai.

Panik, tangan Su Su melingkar di sekitar tiang Zhu Xian Tai, malahan Su Jin yang tersandung di sana. Sebelum Su Su menyadari apa yang sedang terjadi, satu figur hitam melayang melewatinya dan melompat ke dalam Zhu Xian Tai mengejar Su Jin.

Ye Hua berdiri dengan lengannya melingkari Su Jin, menatap dingin ke seberang pada Su Su, amarah mengerikan muncul dalam mata gelapnya.

“Jangan salahkan Su Su,” Su Jin bernapas lemah dari lengan Ye Hua. “Aku yakin ia tidak bermaksud untuk mendorongku. Ia hanya ... hanya mendengar tentang Tian Jun yang akan menjadikanku sebagai istrimu dan ia bertindak impulsif.”

Su Su membuka matanya lebar-lebar tak percaya. Jelas-jelas ia tidak melakukan kesalahan apapun.

“Bukan aku, bukan aku! Aku tidak mendorongnya! Percaya padaku, Ye Hua, kau harus mempercayaiku ...” Lagi dan lagi, ia mencoba bernalar dengan pemuda itu, terdengar panik dan kacau, seperti orang bodoh.

Ye Hua melambaikan tangannya untuk mendiamkannya.

“Cukup,” ia berteriak dalam suara dalam. “Aku tahu apa yang kulihat.”

Ye Hua tidak bersedia mendengarkannya. Ye Hua tidak mempercayainya. Dengan lengannya di sekeliling Su Jin, alisnya mengernyit, dan matanya sekeras es, ia bergegas turun dari Zhu Xian Tai, meninggalkan Su Su di sana seorang diri.

Su Su tidak yakin bagaimana ia sampai kembali di halamannya. Yang dapat dipikirkannya adalah amarah yang menyala dalam mata Ye Hua. Tak lama setelah malam turun, Ye Hua kembali dan berdiri di hadapannya, terlihat muram.

“Energi jahat di bawah Zhu Xian Tai telah menyebabkan kerusakan serius pada mata Su Jin, Su Su, dan sesuai dengan prinsip pembalasan karma, kau harus membayar apa yang kau utangkan.” Ia terdiam. “Tetapi jangan takut, aku akan menikahimu di sini. Mulai sekarang, aku akan menjadi matamu.” Setelah terdiam, ia mengulangi, “Jangan takut. Aku akan menikahimu di sini. Mulai sekarang, aku akan menjadi matamu.”

Ia tidak pernah menyebutkan tentang menikahinya di Jiu Chong Tian sebelumnya. Ia merasakan dingin di dalam hatinya, amarah, dan ketakutan mengalir jadi satu.

Ia tidak akan pernah membayangkan dirinya kehilangan kendali seperti itu, menarik-narik tangan Ye Hua, mirip histeris dan berkata, “Kenapa kau menginginkan mataku? Ia melompat atas kemauannya sendiri. Bukan kesalahanku. Kenapa kau tidak mempercayaiku?”

Matanya dipenuhi kepahitan. “Kekuatan jahat ada di bawah Zhu Xian Tai. Apakah kau sungguh berpikir kalau Su Jin akan melompat atas kemauannya sendiri?” Ia mencibir. “Su Su, makin hari, kau menjadi semakin tak masuk akal ...”

Su Su melihat dalam keterekejutannya saat mata Ye Hua berubah dingin. Hanya Ye Hua yang dimilikinya di seluruh Jiu Chong Tian ini. Sejak mengandung anaknya, Su Su selalu membayangkan kalau suatu hari, ia akan berdiri bersama Ye Hua, masing-masing akan memegangi satu tangan anak mereka saat mereka menyaksikan lautan awan mengepuh melalui ribuan sinar matahari yang terbenam. Ye Hua tidak tahu betapa pentingnya pengelihatannya baginya, maknanya.

Mereka mencungkil matanya. Nai Nai menghabiskan tiga hari menjaganya, setelahnya, Su Jin datang dan berdiri di hadapannya. “Kau akan senang mendengar kalau aku menggunakan matamu dengan baik,” katanya, ditambah dengan tawanya.

Semuanya jadi jelas. Ini merupakan tujuan Su Jin sejak awal. Su Su tak lebih dari seseorang yang lewat yang entah bagaimana terlibat dalam kebingungan ini. Ditakdirkan menjadi malapetaka dunia fana.

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar